Liputan6.com, Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali melakukan manuver politik. Setelah kubu Suryadharma Ali dan Emron Pangkapi mempunyai calon mitra koalisi, kini giliran Sekjen PPP Romahurmuziy yang mengisyaratkan sinyal koalisi dengan Demokrat.
Pengamat politik IndoStrategi Andar Nubowo menilai, apa yang diwacanakan Romahurmuziy mengenai usulan SBY sebagai cawapres secara konstitusional, sah-sah saja. Namun, wacana tersebut menunjukkan PPP seperti mengalami jalan buntu, menemukan lawan sepadan bagi Jokowi dan Prabowo.
"Wacana pencawapresan yang dilontarkan Romy menandai ada semacam kebuntuan politik (krisis tokoh) di kalangan PPP atau partai Islam, dalam mencari cawapres yang cukup populer di mata masyarakat yang mampu menandingi Jokowi dan Prbowo pada Pilpres," kata Andar kepada Liputan6.com, Jakarta, Minggu (20/4/2014) malam.
Andar menjelaskan, jika SBY sebagai cawapres, pergolakan politik akan kembali hadir. Dengan kata lain, SBY akan dicap sebagai tokoh yang gila kekuasaan. Selain itu, bisa juga mendatangkan tudingan sebagai upaya penyelamatan dari dugaan korupsi Century. "Secara etika, masyarakat Indonesia tampaknya tidak akan tertarik."
"Justru, sebaliknya menganggap SBY sebagai sosok haus kekuasaan, tidak punya fatsun politik. Selaian itu, pencawapresan SBY bisa menimbulkan anggapan bahwa SBY punya kepentingan pribadi untuk mengamankan diri dan keluarganya, apalagi di tengah tuduhan keterlibatan dalam kasus-kasus hukum seperti Hambalang dan Century," tandas Andar.
Sekjen PPP Romahurmuziy mengaku partainya saat ini sedang membangun poros koalisi baru. Poros keempat ini mewacanakan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) -- yang saat ini menjabat sebagai Presiden RI -- maju sebagai calon wakil presiden.
"Bukan tidak mungkin kita membangun poros tengah, dengan mengusung SBY sebagai calon wakil presiden," ujar Romy di Kantor DPP PPP, Jakarta, Sabtu 19 April 2014.
Romy yakin, kekuatan poros yang digagas PPP ini punya peluang cukup besar mengingat kekuatan partai menengah cukup signifikan jika digabung. Apalagi, SBY yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat masih memiliki elektabilitas tinggi.
Sementara Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Pramono Edhie Wibowo tidak sependapat dengan istilah koalisi yang banyak diartikan sebagai bagi-bagi kursi di antara anggota koalisi sebuah pemerintahan.
"Berkoalisinya beberapa partai peserta pemilu bukan dalam rangka bagi-bagi kursi seperti yang dikumandangkan banyak pihak," ujar Edhie dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 19 April kemarin.
Koalisi yang dijalankan Partai Demokrat selama ini adalah dalam rangka berbagi peran dan bersama melanjutkan pembangunan bagi kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. "Koalisi yang selama 1 dekade (10 tahun) dilakukan Partai Demokrat adalah cerminan praktik demokrasi yang mengutamakan semangat kebersamaan dan menjunjung tinggi persatuan kesatuan."
"Demokrasi menghargai perbedaan. Indonesia yang menganut sistem demokrasi multi partai mengakibatkan terbaginya perolehan suara dalam sebuah pemilihan umum," lanjut Edhie.
Partai Demokrat, kata Edhie, masih terus mempelajari dinamika politik yang terjadi akibat hasil Pileg yang tidak sesuai apa yang diramalkan sejumlah lembaga survei belakangan ini. "Bahkan, partai dengan perolehan suara terbanyak berdasarkan basil hitung cepat saja tidak bisa mencalonkan presidenya tanpa berkoalisi."
"Saya berharap koalisi partai-partai peserta pemilu tetap didasari dengan semangat bersama membangun bangsa," pungkas peserta Konvensi Capres Partai Demokrat itu.
Advertisement