Liputan6.com, Jakarta,- Oleh: Arthur Gideon, Fiki Ariyanti, Pebrianto Eko Wicaksono, Ilyas Istianur P, Septian Deny, Moch Harun Syah
Advertisement
Dua bulan ini, industri keuangan dihebohkan dengan kasus kerugian investasi yang melibatkan sebuah perusahaan perencana keuangan. Bermula dari surat pembaca di sebuah media nasional pada 15 Februari 2014 lalu, Hery Mada Indra Paska mengaku kehilangan dana investasi lebih dari Rp 200 juta.
Dalam surat pembaca tersebut, Hery mengaku menjadi korban skema investasi racikan CV Panen Mas yang bergerak di bidang agri bisnis.
Menariknya, Hery ikut berinvestasi di Panen Mas bukan karena keinginannya sendiri. Namun direkomendasikan oleh perusahaan perencana keuangan.
Adalah Quantum Magna Financial (QM Financial), perusahaan yang dikomandani oleh perencana keuangan kondang, Ligwina Hananto, yang merekomendasikan Hery agar masuk ke investasi di sektor riil tersebut.
Namun, Ligwina menyangkal. Menurut dia, dalam memberikan jasa perencanaan keuangan, perusahaannya selalu berusaha menyampaikan risiko. Jadi, rekomendasi, ilustrasi, analisa maupun hasil diskusi, tidak ada kewajiban atau paksaan bagi klien untuk mengikuti suatu investasi tertentu. "Keputusan untuk mengikuti suatu investasi sepenuhnya berada pada klien," jelasnya.
Ia melanjutkan, sebagai perencana keuangan, QM Financial selalu berusaha menjunjung etika kerja dalam membantu klien merencanakan investasi keuangannya. Dan tentu saja, sekaligus melindungi sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh perusahaan perencana keuangan.
Nah, untuk menyelesaikan masalah tersebut, QM Financial berinisiatif untuk membuat program pengganti. Program pengganti tersebut sudah disampaikan kepada Hery sebagai kliennya.
Minggu kemarin, korban QM Financial bertambah lagi. Tak main-main, kali ini korbannya bukan orang sembarangan dan nilainya cukup tinggi. Adalah selebriti Ferdi Hasan yang mengaku kerugian mencapai Rp 12 miliar.
Ferdi Hasan: Modal Saya Sudah Habis Semua
Seutas senyum terlihat di wajah Ferdi Hasan ketika ditemui Liputan6.com, Rabu (16/4/2014), di kantor pengacaranya di bilangan Rasuna Said, Jakarta. Namun, di balik senyum itu, ia sedikit terlihat kelelahan.
"Dari pagi saya sudah mutar-mutar mas, gara-gara kasus ini jadi banyak yang minta ketemu. Kalau nggak ditemuin nggak enak kan semua teman-teman juga" tuturnya mengawali pembicaraan.
Sore itu, Ferdi sengaja meluangkan waktunya untuk Liputan6.com. Ia ingin menjelaskan duduk permasalahan kasus penipuan investasi, yang melibatkan perusahaan perencana keuangan Quantum Magna Financial (QM Financial), yang menimpanya.
Ayah dua orang anak ini pun mengawali ceritanya. Perkenalan dengan Quantum Magna Financial diawali ketika dirinya dengan Ligwina Hananto, Chief Executive Officer (CEO) QM Financial, bertemu pada acara bincang-bincang di sebuah stasiun televisi di sekitar tahun 2006 akhir. "Temanya membicarakan mengenai merencanakan keuangan untuk masa depan," ungkap Ferdi.
Tema tersebut klop dengan keinginan Ferdi saat itu. Sebagai seorang yang mencari nafkah di dunia hiburan, ia merasa harus menyisihkan sebagian penghasilannya untuk masa depan.
Tak lama setelah acara tersebut selesai, Ferdi kemudian menghubungi QM Financial untuk menjadi klien. Setelah melakukan financial check up, Ferdi ditawari untuk berinvestasi di produk perbankan dan produk dari sebuah perusahaan Manajer Investasi yang masih cukup konvensional. "Waktu itu return yang dihasilkan lumayan," jelas pria kelahiran Jakarta, 30 Mei 1973 ini.
Nah, di tahun 2010, Ferdi ditawari produk yang lebih kompleks yaitu Index Trading. Tapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. "Saya loss banyak di situ," tambahnya.
Untuk mengganti kehilangan dana di Index Trading tersebut, pihak QM Financial menawarkan produk lainnya yaitu investasi di sektor riil di PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). "Sama Ligwina, saya dikenalkan dengan Michael Ong," tutur suami dari Safina tersebut.
Ternyata, saran yang diberikan oleh QM FInancial ini pun juga blong. Bukannya untung, ia justru buntung. Duit Ferdi dibawa kabur oleh Michael Ong.
Tak berhenti sampai di situ, salah satu Planning Director di QM Financial, menawarkan Ferdi untuk berinvestasi di perusahaan yang menyediakan jasa skilled labour untuk perusahaan minyak dan gas.
Tak ingin tertipu lagi, Ferdi meminta sang Planning Director untuk menjaga perusahaan tersebut. "Jadi Planning Director yang jadi salah satu direktur di perusahaan tersebut," tukas Ferdi. Tapi langkah tersebut juga tak berhasil. Planning Director tersebut menurut Panji, bernama Benny Raharjo. Namun hingga kini Benny tidak bisa dihubungi dan hanya memberikan penjelasan lewat email.
Masih banyak lagi perusahaan-perusahaan di sektor riil yang direkomendasikan oleh QM Financial dan kemudian disetujui oleh Ferdi untuk dikucuri dana investasi. CV Panen Mas salah satunya.
Secara total, kerugian yang dialami oleh Ferdi, setelah menjalankan rekomendasi dari QM Financial, mencapai Rp 12 miliar. "Jadi modal dan imbal hasil investasi sejak 2007 sudah habis semua," ungkapnya.
Ferdi mengaku, setelah menjadi klien dari QM Financial selama bertahun-tahun, ada perubahan cara penanganan kepada dirinya. Dari yang semula hanya memberikan pilihan investasi, berubah menjadi saran ke produk-produk. Dan karena sudah bertahun-tahun menjadi klien, Ferdi menyetujui saja.
Panji Prasetyo, Kuasa Hukum Ferdi Hasan, menambahi, ada yang salah dalam perencanaan keuangan yang dilakukan oleh QM Financial. "Saran yang mereka berikan itu tak valid. Perusahaan yang disarankan tidak dicek dengan baik keadaannya," jelas Panji.
Ia pun memberikan contoh, pada tahun 2012, QM Financial menyarankan Ferdi untuk masuk berinvestasi di perusahaan pengembangan pohon jati.
QM Financial mengaku bahwa sudah mengecek perusahaan tersebut dan keberadaannya memang ada, dengan kinerja keuangan yang baik.
Tetapi setelah berjalan selama enam bulan, Ferdi tidak segera mendapatkan sertifikat tanah yang tidak turun-turun. "Ternyata tanahnya berkasus, jadi ada sengketa kepemilikan tanah, artinya itu kan tidak dicek benar-benar oleh mereka," ungkap Panji berapi-api.
Lalu, setelah memeriksa lebih lanjut satu-persatu dokumen yang diberikan Ferdi dan juga mencari informasi dari berbagai sumber. Panji menemukan ada praktik moral hazard di QM Financial.
Banyak dari pegawai mereka yang menjadi pemegang saham dari perusahaan yang mereka sarankan. Selain itu, perusahaan-perusahaan yang disarankan tersebut juga memberikan fee tambahan bagi para perencana keuangan yang mendapat klien.
Dari dokumen yang diperlihatkan oleh Panji kepada Liputan6.com, Benny Raharjo ternyata menjadi pemegang saham di CV Panen Mas. "Kalau perusahaan yang menyediakan jasa skilled labour memang Benny menjadi direktur karena keinginan dari Ferdi. Tetapi ternyata Benny memiliki saham di beberapa perusahaan lain," jelas Panji. Namun hingga kini Benny masih menolak memberikan keterangan soal ia menjadi pemegang saham.
Dokumen-dokumen yang didapat oleh Panji tersebut beberapa diantaranya berasal dari klien QM Financial yang juga mengalami kerugian. "Mereka silent victim yang mau membantu kami mengungkapkan praktik moral hazard di QM Financial," ujar Panji.
Rencananya, minggu keempat April 2014, Panji akan memasukkan laporan tersebut ke polisi. "Sebenarnya kami pada Desember 2013 lalu sudah melapor, tetapi sekarang baru secara resmi sambil membawa bukti-bukti," pungkasnya. [LIHAT VIDEO: Kisah Ferdi Hasan yang Tertipu Investasi Rp 12 Miliar]
Ligwina Hananto: Ada yang Tidak Suka Sama Saya
Ligwina Hananto adalah perencana keuangan kawakan. Bersama beberapa rekannya, ia merintis QM Financial pada tahun 2005. Banyak buku bertemakan perencana keuangan yang telah diterbitkan.
Seringkali, ia dengan cuma-cuma membagikan pengetahuannya mengenai perencanaan keuangan di media sosial. Maka tak heran beberapa orang menyebutnya sebagai seleb twit. Pengikutnya di twitter hampir menyentuh 150 ribu follower.
Kesibukannya di twitter bertambah setelah mencuat kasus kerugian investasi yang melibatkan namanya. Banyak yang mem-bully, tetapi banyak juga yang membelanya. kepada Liputan6.com, Ligwina berkeluh kesah.
Menurutnya, berita-berita yang saat ini beredar di beberapa media massa khususnya pada hari Senin 14 April 2014 tentang dirinya dan QM Financial tak benar, menyesatkan dan cenderung bersifat insinuatif (menuduh).
"Kami memiliki keterbatasan untuk menjelaskan permasalahan karena kami menjunjung tinggi dan menjaga confidentiality data klien kami," jelasnya.
Menurut lulusan Finance and Marketing dari Curtin University of Technology di Perth Australia ini, proses pendampingan yang QM lakukan sudah sesuai standar dengan yang berlaku pada badan sertifikasi maupun asosiasi perencana keuangan.
Tugas perencana keuangan independen atau biasa disebut dengan Planner di QM Financial adalah memberikan edukasi keuangan dan jasa rencana keuangan bagi para klien. Planner bekerja berdasarkan kontrak kerja yang sudah disepakati klien.
"Setiap Planner yang in-charge dalam memberikan edukasi adalah Planner yang tercatat dan memiliki sertifikasi Certified Financial Planner yang dikeluarkan oleh Financial Planning Standards Board," tambahnya.
Tahap-tahap yang perlu dilalui oleh seorang Planner adalah pengumpulan data keuangan. Setelah itu baru melakukan identifikasi tujuan finansial. Kelar tahap tersebut, masuk ke tahap selanjutnya yaitu analisa data keuangan dan rekomendasi.
Nah, setelah itu planner akan mencari informasi mengenai produk yang cocok. Produk itu kemudian didiskusikan dengan klien. "Kesimpulan diskusi harus disepakati klien," jelasnya.
Selanjutnya akan dilakukan monitoring atau review. Review tersebut dilakukan enam bulanan atau tahunan. Tapi jika klien meminta, review bisa dilakukan sebulan sekali.
Benny Raharjo, Planning Director di QM Financial, menambahkan planner QM Financial tidak melakukan penjualan produk. Proses pencarian informasi dan diskusi alternatif produk dilakukan secara terbuka bersama klien. "Pencarian informasi bisa dilakukan atas inisiatif klien atau inisiatif Planner," jelasnya.
Namun, planner bisa juga memperkenalkan klien kepada pihak ketiga. Tapi bukan sebagai agen penjual melainkan dengan tujuan agar klien mendapatkan informasi lengkap tentang produk dari tangan pertama. Pihak ketiga misalnya bank, asuransi, manajer investasi, sekuritas, koperasi, pelaku bisnis lain sebagainya.
“Jadi kalau yang bilang aku owner Golden Traders Indonesia, itu bohong. Lalu staff aku dibilang staff di Panen Mas, itu juga bohong,” imbuh Ligwina.
Ligwina berpendapat, serangan bertubi-tubi kepadanya dan juga perusahaan yang diasuhnya tersebut kemungkinan besar memang disengaja. Ada pihak-pihak yang tidak suka kepadanya, lalu membuat keruh suasana.
"Kalau memang kami merugikan seharusnya sudah dilaporkan ke polisi, tetapi sampai sekarang belum ada kan," tambahnya. (Arthur Gideon/Irna Gustiawati)
Saat gerakan investasi tak terawasi
Perencana Keuangan yang Tak Terawasi
Kasus kerugian investasi atau investasi bodong seperti yang menimpa Hery Mada Indra Paska dan Ferdi Hasan sebenarnya cukup banyak di Indonesia. Namun memang, banyak yang tak mau mengungkapkannya. Banyak alasan yang melandasinya, tak ingin ribet atau bisa juga tak ingin malu.
Beberapa kasus investasi bodong yang mencuat antara lain Koperasi langit Biru (KLB), Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), PT Trimas Mulia, PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), dan CV Panen Mas dan terakhir Koperasi Cipaganti. [LIHAT INFO GRAFIS: Rentetan Penipuan Berkedok Investasi]
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kusumaningtuti S Soetiono menjelaskan hingga akhir bulan Maret 2014, OJK sudah menangani kasus investasi bodong lebih dari 200 kasus.
Sebenarnya, laporan dari masyarakat lebih banyak dari jumlah tersebut. Tetapi memang sebagian besar kewenangannya tidak berada di bawah OJK. Ada kasus investasi bodong yang penanganannya di bawah Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Ada juga yang penanganannya di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Belum lagi jika kasus investasi bodong tersebut dikaitkan dengan Quantum Magna Financial (QM Financial). Sampai saat ini, memang belum ada lembaga yang secara resmi mengawasi perusahaan perencana keuangan maupun planner-nya sendiri.
Belum jelasnya permasalahan kewenangan inilah yang kemudian membuat penanganan masalah investasi bodong berlarut-larut.
Saling-silang soal Wewenang
Nasi telah menjadi bubur. Duit ratusan juta yang dimiliki oleh Hery Mada Indra Paska lenyap tak berbekas. Kini, hanya penyesalan yang ada di benak Hery.
Cerita lenyapnya duit Hery berawal ketika ia mengikuti nasihat sebuah perusahaan perencana keuangan di medio 2012 . Ada beberapa rujukan yang diberikan oleh perusahaan perencana keuangan tersebut kepada Hery. Tentu saja, rujukan tersebut disesuaikan dengan risk profil Hery.
Akhirnya, dari beberapa rujukan tersebut Hery memilih untuk berinvestasi di CV Panen Mas, perusahaan sektor riil yang mengembangkan bisnis singkong, burung puyuh dan ayam super. Berdasarkan cerita dari perencana keuangan tersebut, Panen Mas dapat dipercaya.
Bahkan perusahaan tersebut telah menghasilkan keuntungan bagi investor yang sudah bergabung lebih dulu. Hery pun akhirnya memutuskan untuk ikut dalam investasi tersebut.
Di semester pertama, Hery masih bisa tersenyum karena investasi yang ditanamkannya ke Panen Mas menghasilkan return. Namun di semester kedua, ternyata investasi tersebut macet. Hery pun bingung bukan kepalang.
Kebingungan Hery bertambah ketika ternyata perusahaan perencana keuangan yang merekomendasikan investasi tersebut sulit untuk dihubungi. Alhasil, karena tak ada tempat untuk mengadu. Hery pun akhirnya hanya mengadu di surat pembaca.
Jika dilihat, sebenarnya banyak masyarakat yang bernasib sama seperti Hery. Sebut saja Ferdi Hasan, pembawa acara ternama ini juga tersangkut hal yang sama persis. Kerugian yang dialami Ferdi lebih fantastis karena hampir mencapai Rp 12 miliar.
Sebelumnya, hal yang sama juga dialami oleh para investor dari Koperasi Langit Biru yang jumlahnya mencapai lebih dari 125 orang. Berbeda dengan koperasi biasanya, Langit Biru menawarkan paket investasi. Keuntungan yang ditawarkan dalam paket investasi tersebut mencapai Rp 150 ribu per bulan.
Daftar tersebut belum selesai, masih ada kasus penipuan investasi yang melibatkan nama-nama perusahaan lain seperti Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), PT Trimas Mulia dan PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS).
Tentu saja, maraknya kasus-kasus penipuan investasi ini seharusnya mampu dicegah dan ditangani dengan baik. Namun ternyata, sampai saat ini belum ada otoritas yang merasa bertanggung jawab terhadap kasus penipuan-penipuan investasi ini.
Para pihak yang seharusnya menangani justru saling tuding dan lempar tanggung jawab. Kusumaningtuti S Soetiono, Anggota Dewan Komisioner otoritas Jasa Keuangan (OJK) bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen mengatakan, selama ini memang OJK selalu menerima pengaduan dari masyarakat mengenai kasus-kasus penipuan investasi. “Pengaduan untuk investasi yang tidak jelas itu kita list,” tuturnya.
Tapi untuk penanganannya, OJK tidak akan menanganinya langsung, namun melemparkannya kepada Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi. Satgas tersebut merupakan forum koordinasi antar lembaga yang isinya antara lain OJK, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Departemen Perdagangan dan juga Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
“Tapi, untuk scope perizinannya dan pengawasan perusahaan investasi tersebut tidak dalam OJK,” tambah wanita yang akrab dipanggil dengan Titu ini ketika ditanya soal perusahaan-perusahaan investasi bodong tersebut.
Menurut Titu, perizinan dan pengawasan OJK lebih kepada lembaga-lembaga seperti manajer investasi, bank dan sekuritas, asuransi dan perusahaan pembiayaan.
Setali tiga uang, Bappebti pun menjawab hal yang sama seperti OJK. Sutriono Edi, Kepala Bappebti menjelaskan bahwa QSAR, Trimas Mulia, GTIS, dan Panen Mas merupakan perusahaan yang tidak mendapat izin usaha atau perizinan dari Bappebti.
“Bappebti telah melakukan identifikasi awal terhadap perusahaan tersebut. Hasilnya, mereka telah melakukan kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup kegiatan di bidang Perdagangan Berjangka Komoditi,” tuturnya kepada Liputan6.com.
Sutriono melanjutkan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah dengan UU 10 Tahun 2011, Bappebti hanya memiliki kewenangan pengenaan sanksi pelanggaran pihak-pihak yang memiliki perizinan di bidang Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) ataupun pihak yang tidak memiliki izin namun diduga melakukan kegiatan di bidang PBK.
Untuk perusahaan-perusahaan investasi bodong yang telah disebutkan di atas, Bappebti merasa tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.
Setyo Heriyanto, Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM, pun juga senada dengan kolega-kolega sesama otoritas tersebut. Menurutnya, masyarakat harus melihat dulu legalitasnya jika ada perusahaan investasi menggunakan kata koperasi.
"Kalau masalah investasi di dalam koperasi, itu termasuk aktifitas. Untuk dapat melakukan itu, koperasi harus punya izin usaha terlebih dahulu, itu ada di OJK. Kalau koperasi simpan pinjam ada di bawah Kementerian Koperasi dan UKM," jelas Setyo.
Menurut Setyo, mengenai kasus Koperasi Langit Biru memang berada di bawah kewenangan lembaganya. Koperasi Langit Biru berada di wilayah keanggotaan Provinsi Banten sehingga yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan paling utama adalah Dinas Provinsi Banten.
Sedangkan untuk kasus Koperasi Cipaganti, Setyo angkat tangan. "Kalau investasi yang mengawasi adalah OJK, kalau dia punya izin usaha dari sana. Kalau belum punya izin usaha, berarti belum legal usahanya," tambahnya. [LIHAT VIDEO: Saat Investasi Bodong Kian Marak, Apa Kata OJK?]
Bebas Melenggang Tak Ada Aturan
Sebagai perencana keuangan nama Ligwina Hananto cukup terkenal. maka tak heran jika banyak yang menggunakan jasanya untuk memberikan masukan mengenai perencanaan keuangan.
Bahkan, karena nama baiknya sudah tak perlu dipertanyakan lagi, banyak klien Ligwina yang memasrahkan seluruh pengelolaan aset kepada penulis buku "100 Langkah Untuk Tidak Miskin" ini.
Nah, belakangan ini, kepercayaan orang kepada Ligwina luntur. Pasalnya, beberapa rekomendasi dari perencana keuangan alias planner yang bernaung di bawah bendera QM Financial meleset.
Korban pun berjatuhan. Ferdi Hasan salah satunya. Karena mengikuti saran dari plannner dari QM Financial, kerugian yang harus ditanggung oleh pembawa acara ini mencapai angka Rp 12 miliar. "Saya diarahkan berinvestasi ke produk-produk yang saya tidak mengerti dan mereka sendiri tidak kuasai," tutur Ferdi kepada Liputan6.com, Rabu (16/4/2014).
Menanggapi kasus tersebut Aidil Akbar, dosen S2 Universitas Bina Nusantara Jakarta dengan materi khusus Keuangan (special in Financial Planning) menjelaskan, seorang perencana keuangan tidak boleh mengarahkan kliennya berinvestasi pada produk investasi yang aneh.
Aidil mengatakan, di Indonesia memang belum ada aturan yang mengatur arahan penggunaan produk investasi, namun sebagai perencana keuangan seharusnya melihat risiko produk investasi yang disarankan.
"Sebagai perencana keuangan nggak boleh memberikan produk aneh begitu, di Indonesia memang nggak ada regulasinya, di Amerika Serikat nggak boleh rekomendasi investasi produk aneh-aneh. Di Indonesia nggak ada peraturannya," kata Aidil, saat berbincang dengan Liputan6.com, di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Menanggapi kasus Ligwina Hananto , Aidil mengatakan bahwa Ligwina seharusnya mengarahkan klien kepada produk-produk investasi seperti properti, saham, obligasi dan produk lainnya yang ada aturan main yang jelas.
"Kalau beberapa produk yang ditawarkan GTIS itu sebenarnya sifatnya bukan investasi melainkan trading," jelas Aidil. Produk-produk trading sangat tidak disarankan bagi perencana keuangan karena fluktuasinya sangat tinggi.
Penyelesaian di Kepolisian
Karena tak ada yang merasa bertanggung jawab, penyelesaian kasus investasi bodong pasti berakhir di kepolisian. Seperti yang terjadi pada kasus Ferdi Hasan.
Kepada Liputan6.com Direktur Kriminal Umum, Kombes Pol Heru Pranoto membenarkan bahwa pihaknya telah menangani kasus yang dilaporkan pembawa acara ternama, Ferdi Hasan. "Ya benar, kita sedang tangani kasus Ferdi Hasan. Dan seingat saya laporan itu masuk beberapa minggu lalu," kata Heru di Jakarta, Rabu (16/4/2014).
Menurutnya, sebelum melaporkan, Ferdi mengaku berkonsultasi dan berdiskusi dengan pihak-pihak ahli. Setelah dapat informasi yang dirasa cukup oleh Ferdi, kata Heru, Ferdi lantas melaporkan soal investasi emas bodong. "Habis diskusi dia (Ferdi) langsung laporkan," ungkap Heru.
Namun, Heru belum menerangkan secara gamblang terkait kasus yang kini sedang ditanganinya. Selain menurutnya masih mendalami laporan korban, pihaknya juga masih terus mengumpulkan bukti-bukti. Dalam keterangan, Ferdi Hasan mengaku ditipu satu perusahaan yang bergerak di bidang investasi emas.
"Menurut pengakuan Ferdi dia tertipu investasi emas, itu versi dia (Ferdi). Saya belum bisa memaparkan karena kasus ini agak rumit (butuh penanganan serius), dan harus ditelusuri dan butuh detail penyelidikannya," terang Heru.
Heru melanjutkan, terkait saksi-saksi yang sudah diperiksa pihaknya, dirinya juga belum mau menerangkan. Namun ia mengatakan, pihaknya masih melakukan pendalaman materi laporan dari terlapor yaitu Ferdi Hasan. Begitu juga mengenai nilai total kerugian rupiah yang dialami Ferdi Hasan, Heru belum mengatakan.
"Untuk itu kami masih butuh pendalaman dan sampai saat ini kita juga masih terus menggali keterangan dari korban," tutup Heru. (Arthur Gideon/Irna Gustiawati)
Advertisement
Siasat Muslihat Penipuan Investasi
Diatur Tapi Tetap Ngawur
Selama ini, kasus kerugian investasi selalu identik dengan tak adanya otoritas yang mengaturnya. Namun sebenarnya, banyak juga kasus kerugian investasi yang sebenarnya ada otoritas yang menggawanginya.
Masih ingat dengan kasus PT Antaboga Delta Sekuritas yang melibatkan PT Bank Century Tbk. Kasus tersebut berawal pada 2005. Kala itu, Bank Century menjadi sub agen penjual produk reksa dana, yaitu Investasi Dana Pasti yang dibuat oleh Antaboga.
Nah, ternyata pegawai Bank Century yang menjual produk tersebut tidak mempunyai izin dari otoritas saat itu yaitu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK). Selain itu, cara penjualan produk reksa dana tersebut juga tak sesuai aturan yang ada karena hanya menawarkan keuntungannya saja, sedangkan mengenai risikonya tak ada penjelasan.
Dalam perjalanan waktu, ternyata pengelolaan aset di Antaboga tidak benar sehingga menyebabkan dana milik investor tak kembali. Dalam hal ini sebenarnya pihak pengelola bank dan aset manajemen yang tidak menjalankan kewajibannya dengan baik sehingga investor rugi.
Kasus-kasus pengelolaan yang salah ini juga masih banyak terjadi setelah itu. Terutama pada bank-bank kecil alias Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lihat saja kasus BPR Tripanca. Dalam kasus ini, direksi BPR Tripanca melakukan tindak pidana perbankan dengan cara membuat kredit fiktif dalam pembukuan BPR Tripanca. Perbuatan tersebut dilakukan direksi untuk mengajukan kredit fiktif atas nama 177 debitor.
Jika dilihat, pengaturan lembaga perbankan sebenarnya sudah cukup ketat. Namun masih ada yang terlepas dari pengawasan.
Selain di bank, pengelolaan alias manajemen yang tidak bagus pun juga ada banyak di koperasi. Lihat saja koperasi Langit Biru dan juga Koperasi Cipaganti.
Kasus-kasus tersebut bermuara kepada hal yang sama. Nasabah, investor atau masyarakat menjadi korban.
Sudah ada Perbaikan
Di industri perbankan, prinsip kehati-hatian menjadi hal yang utama. Tetapi kadang hal tersebut tidak dilakukan oleh para pemilik bank terutama Bank Perkreditan Rakyat. Terbukti, cukup banyak BPR yang ditutup oleh Bank Indonesia.
Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada tahun 2013 kemarin, terdapat sembilan BPR yang dilikuidasi oleh otoritas. Setahun sebelumnya angkanya lebih kecil yaitu hanya satu BPR saja yang dilikuidasi. Namun di 2011, BPR yang dilikuidasi cukup banyak yaitu mencapai 15 bank. Sedangkan di 2010 ada 10 BPR.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) Joko Suyanto mengklaim, jumlah BPR yang ditutup itu bukan menandakan bahwa banyak pengelola BPR yang menjadi oknum. Jumlah tersebut juga dibandingkan dengan total BPR yang ada tidak seberapa.
"Saat ini BPR bermasalah sudah relatif berkurang, dan itu menandakan bahwa para bankir BPR ini mampu mengelola industrinya dengan baik," ujar Joko saat berbincang dengan Liputan6.com. Saat ini , jumlah total BPR yang beroperasi di Indonesia mencapai lebih dari 1.500 BPR.
Menurutnya, jika terjadi kasus penggelapan dana nasabah pada BPR, terutama di daerah, hal tersebut lebih disebabkan oleh oknum tertentu di dalam BPR yang dengan sengaja mengambil keuntungan sendiri. Joko membantah bahwa lembaga perbankan seperti BPR rentan akan penipuan. "Dalam industri BPR tidak ada kerentanan seperti itu, itu hanya kasus per kasus," lanjutnya.
Dia menjelaskan, lembaga perbankan seperti BPR sebenarnya secara industri adalah industri yang paling banyak diatur oleh regulasi, ditata kelola dengan banyak aturan supaya memberikan perlindungan terhadap nasabahnya dengan baik serta melindungi dana masyarakat yang ditempatkan di BPR.
"Logikanya bertransaksi bank itu aman, karena diatur oleh regulasi yang ketat, diawasi oleh otoritas yaitu OJK (Otoritas Jasa Keuangan)," katanya.
Selain itu, sekurang-kurangnya dalam jangka waktu satu tahun sekali para pengurus di dalam BPR ini pun dilakukan fit and proper oleh regulator dalam hal ini OJK. Sehingga secara teori, BPR sama seperti lembaga keuangan lainnya yang tergolong aman.
Menurut Joko, jika memang ada BPR yang bermasalah, hal ini kembali pada oknum yang mengelola. Sedangkan secara institusi, BPR tergolong aman, karena jika dilihat secara kelembagaan, BPR telah diatur secara ketat. "Ini ibaratnya naik pesawat yang memiliki teknologi tinggi namun juga memiliki high risk," jelasnya.
Joko juga memaparkan, pada prinsipnya, untuk mengetahui BPR dengan kinerja yang baik dapat dilihat dari keterbukaan suatu BPR dalam menyampaikan laporan keuangan untuk dipublikasikan. BPR berkewajiban menyampaikan laporan tersebut kepada publik.
"Parameternya bisa dilihat dari laporan publikasi mereka, yang bisa menjadi bahan dasar adalah kemampuan keuangan dari BPR itu yang tercermin dari laporan publikasi mereka. Itu dapat dibedakan apakah suatu BPR mempunyai kapasitas yang baik atau cukup (baik)," tandasnya.
Masyarakat Harus Lihat Legalitas
Kasus oknum yang salah mengelola memang kerap terjadi bukan hanya pada badan usaha investasi atau perbankan saja. Pada badan usaha seperti koperasi juga pernah terjadi, seperti pada Koperasi Langit Biru yang didirikan olah Jaya Komara. Atau yang terbaru yaitu kasus yang menimpa anggota Koperasi Cipaganti.
Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Setyo Heriyanto menjelaskan, koperasi diberikan izin untuk melakukan penghimpunan dana dari para anggotanya yang disebut dengan modal penyertaan. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 33 tahun 1998.
"Modal penyertaan ini ada perjanjiannya antara koperasi dan investor, keuntungannya tergantung perjanjian, apakah bagi hasil atau bunga, tergantung perjanjian," lanjutnya.
Setyo menjelaskan, koperasi terbagi pada beberapa jenis, yaitu koperasi jasa, koperasi produksi, koperasi konsumsi, dan koperasi simpan pinjam. Pada koperasi simpan pinjam, pihak koperasi hanya boleh menerima simpanan dari anggota.
"Untuk dapat melakukan itu, koperasi harus punya izin usaha terlebih dahulu, itu ada di OJK. Kalau koperasi simpan pinjam ada di bawah Kementerian Koperasi dan UKM," katanya.
Lantas, amankah jika anggota koperasi menyimpan uangnya pada koperasi? Menurut Setyo, pertama kali yang harus lihat adalah tingkat pemahaman masyakarat bahwa koperasi merupakan legalitas bentuk badan hukum sehingga sama dengan badan hukum lain termasuk badan hukum privat seperti PT (Perseroan Terbatas) atau Yayasan sekalipun.
"Kalau masalah investasi di dalam koperasi, itu termasuk aktifitas. Jadi masyarakat harus tanyakan izin usaha koperasi itu dari mana," tambahnya. Koperasinya sendiri harus mencantumkan izin usaha, bukan hanya nomor badan hukum.
Dia menyatakan, untuk mengetahui apakah suatu koperasi bisa dikatakan baik atau tidak dapat dilihat dari kadar kesehatan koperasi tersebut, apakah masuk kategori sehat, cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat.
"Setiap tahun, koperasi dinilai kadar kesehatannya dari pejabat setempat, seperti dinas koperasi kabupaten kota dan kalau kementerian untuk koperasi skala nasional," tuturnya. (Arthur Gideon/Irna Gustiawati)
Jurus Terhindar dari Tipu-tipu
Hapal Rumus Biar Tak Terjerumus
Salah satu penyebab banyaknya masyarakat yang terjerumus investasi bodong karena kurangnya pengetahuan akan produk-produk investasi.
Aidil akbar, perencana keuangan independen menyebutkan, secara umum, rumus yang harus diketahui saat berinvestasi bukan keuntungannya atau return-nya tetapi justru harus lebih dulu mengetahui risikonya.
"Kalau kita tahu sebuah produk investasi dari sepuluh orang dan sembilannya gagal maka artinya kemungkinan gagal lebih besar. Tips lain yang harus diketahui adalah dana tidak boleh ditempatkan dalam satu keranjang investasi yang sama.
Artinya, jika ada tawaran investasi di emas, jangan semua dana simpanan dimasukkan ke emas tetapi ada juga yang disisakan dalam bentuk deposito atau reksa dana.
Selain itu, kita sebagai investor juga harus cerewet. "Kita harus turun tangan mengawasi bisnis dan melakukan pengecekan perputaran keuangan," jelasnya.
Nah, di luar itu, ada juga rumus-rumus yang bisa dijadikan panduan investasi untuk masing-masing sektor.
Koperasi
Setyo Heriyanto, Deputi Bidang Kelembagaan dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kementerian Koperasi dan UKM menjelaskan, pentingnya untuk mengetahui nomor badan hukum dan juga izin usaha. Keduanya itu bisa ditanyakan ke Dinas Koperasi dan UKM di masing-masing daerah.
Setelah itu, kita juga harus melihat kadar kesehatan koperasi tersebut. "Dinas selalu melakukan penilaian apakah koperasi itu sehat, cukup sehat, kurang sehat, tidak sehat," tuturnya.
Setelah mejadi anggota, jangan pernah bosan untuk menanyakan status tingkat kesehatan tersebut. "Kalau tingkatannya hanya kurang sehat, harus memberikan dorongan kepada pengurus untuk meningkatkan tingkat kesehatannya," tambahnya.
Bagi anggota, akan aman untuk melakukan penyimpanan uang atau investasi jika koperasi tersebut masuk kategori sehat atau minimal cukup sehat.
Lembaga Keuangan
Kusumaningtuti S Soetiono, Anggota Dewan Komisioner bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerangkan, sebagai investor kita jangan terlalu cepat tergiur dengan janji keuntungan yang tidak wajar.
Misalnya, ada lembaga keuangan yang menawarkan return investasi jauh melebihi hasil tingkat bunga bank bahkan menjanjikan tak bakal rugi.
Pastikan juga bahwa orang atau perusahaan yang melakukan penawaran investasi tersebut telah memiliki izin sesuai peruntukkannya dari salah satu lembaga yang berwenang seperti Bank Indonesia (BI), OJK, Bappebti atau Kementerian Koperasi dan UKM.
Selain itu, jangan terlalu percaya dengan penasihat investasi yang menjanjikan suatu hasil tertentu yang akan dicapai apabila nasabah mengikuti nasihat yang diberikan. "Soalnya itu dilarang kalau menurut Peraturan OJK Nomor V.H.1," jelasnya.
Memberi saran kepada nasabah yang berkaitan dengan pembelian, penjualan atau pertukaran dari efek tanpa dasar pemikiran yang rasional pun tidak diperkenankan.
Perusahaan Komoditas Berjangka
Sutriono Edi, Kepala Bappebti menjelaskan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan yang menawarkan investasi komoditi berjangka bodong atau tidak.
Pertama, ada ciri khusus yang melekat pada perusahaan komoditi yang terdaftar di Bappebti antara lain kata 'berjangka' atau 'futures' pada nama perusahaan. Selain itu juga terdapat penarikan margin yang disetorkan di rekening yang terpisah. "Harus ada juga dokumen pemberitahuan adanya risiko," jelasnya.
Kedua bisa mengecek juga di website untuk informasi-informasi penting seperti nomor izin dan alamat, Izin wakil pialang, bank dan nomor rekening terpisah serta nomor persetujuan untuk setiap kantor cabangnya. (Arthur Gideon/Irna Gustiawati)
Advertisement