Sekarang, Indonesia Sudah Bisa Produksi Garam Farmasi

Selama ini kebutuhan garam untuk kesehatan 100 persen harus diimpor. Ini baru saya ketahui ketika awal-awal menjabat menteri BUMN.

oleh Dahlan Iskan diperbarui 28 Apr 2014, 16:00 WIB
Petani memanen garam di Desa Bunder, Pamekasan, Madura, Jatim, Senin (27/7). Pada pekan lalu harga garam pada panen perdana sebesar Rp.260.000/ton namun sekarang turun menjadi Rp 50.000/ton.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta Kemandirian bangsa juga segera terwujud di bidang ini: garam kesehatan dan garam minuman.

Selama ini kebutuhan garam untuk kesehatan 100 persen harus diimpor. Ini baru saya ketahui ketika awal-awal menjabat menteri BUMN. Waktu itu saya bertanya kepada direksi PT Kimia Farma, obat apa saja yang kita belum bisa buat.

Jawabnya ternyata: semua belum bisa bikin. Bahan baku obat kita semuanya masih harus diimpor.

Memang beberapa obat sudah dibuat di dalam negeri. Termasuk obat lamivudine untuk HIV, tapi bahan bakunya impor. Demikian juga obat-obat generik, semuanya menggunakan bahan baku dari luar negeri.

Dengan semangat kebangkitan industri dalam negeri, saya minta kepada direksi Kimia Farma untuk menyusun daftar obat apa saja yang mungkin akan bisa kita buat bahan bakunya. Saya minta dimulai dari yang paling mudah.

Ternyata ada 12 obat yang mungkin bisa kita buat sendiri. Asal ahli-ahli dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset bekerjasama dengan BUMN.

Dari 12 jenis obat itu ada yang bisa diwujudkan dalam satu tahun, tapi ada juga yang baru akan terwujud dalam tiga atau empat tahun. Tidak mengapa. Yang penting masing-masing ada 'roadmap' untuk mewujudkannya.

Maka mulailah kita buat 'roadmap' untuk yang paling mudah mewujudkannya: garam kesehatan dan garam minuman. Kita punya garam. Teknologi untuk mengubah garam biasa menjadi garam kesehatan dan garam minuman juga tidak terlalu rumit.

Bahkan ternyata anak-anak bangsa sendiri sudah berhasil menemukan caranya. Mereka adalah ahli-ahli yang masih muda (waktu itu) dari BPPT: Imam Paryanto, Bambang Marwoto, Bambang Sriyanto, dan Wahono sebagai kordinator.

Mereka melakukan penelitian di pusat garam Madura. Bekerjasama dengan PT Garam (Persero). Mereka saya sebut "ketika masih muda" karena penelitian itu dilakukan 16 tahun yang lalu. Hasilnya langsung mereka patenkan atas nama BPPT.

Berdasarkan informasi itu kami mengundang pimpinan BPPT untuk membicarakannya. Bolehkah penemuan anak bangsa itu diimplementasikan? "Itu yang sudah lama kami tunggu-tunggu," ujar Dr Listyani Wijayanti, Deputi Kepala BPPT yang memimpin tim BPPT ke BUMN. Ketika mengucapkan kata "sudah lamaaaa" terasa bunyi huruf "a" nya mungkin lebih dari 25 buah.

Mengapa selama ini hasil penelitian itu tidak diwujudkan, agar kita tidak perlu impor garam farmasi?

"Tidak ada yang membuat keputusan," ujar Dr Listyani yang alumni Shaitama University Jepang itu. "Sudah dua buku laporan yang kami terbitkan. Tapi ya hanya sampai buku itu," tambahnya.

Hari itu rapat lantas tidak hanya membicarakan penemuan garam farmasi dan minuman. Tapi melebar ke penemuan apa lagi yang sudah dihasilkan BPPT dan akan dihasilkan lembaga itu. Dari situlah kami sepakati ada 12 penemuan bahan baku obat yang akan bisa diproduksi di dalam negeri.

Khusus untuk garam farmasi, waktu itu kami sepakati harus terwujud paling lambat akhir tahun 2014. Tahun ini. Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman menyanggupi. Juga menganggarkan investasi Rp 25 miliar di tahun 2014. Kimia Farma sangat mampu menyediakannya.

Rasanya target itu akan terpenuhi. Kalau pun meleset hanya dua-tiga bulan. Apalagi hasil riset BPPT itu memang sudah sangat detil. Badan POM sudah langsung memposesnya dan mengizinkannya.

Selasa lalu penandatanganan kerjasama dua BUMN dilakukan di depan saya. PT Kimia Farma dan PT Garam. Maka Kimia Farma segera membangun pabrik bahan baku garam kesehatan itu.

Pabrik itu akan dibangun di Watudakon, Mojokerto, Jawa timur. Di sebelah pabrik yodium milik Kimia Farma. Di situ memang ada sumber yodium. Pembangunan pabrik garam farmasi dan garam minuman ini bisa cepat karena tanahnya sudah siap, sudah matang, uangnya sudah siap, dan pabriknya sederhana.

Kalau toh tidak bisa tepat akhir tahun ini, paling lambat awal tahun depan. Kita segera mandiri untuk bahan baku garam farmasi dan minuman. Kita bisa stop impor 100 persen. "Bahkan kami merencanakan ekspor," ujar Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman.

Pabrik itu tahap pertamanya akan berkapasitas 3.000 ton, tapi dengan mudah bisa ditingkatkan menjadi 6.000 ton.

Garam farmasi ini paling banyak untuk cairan infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi gagal ginjal), dan banyak lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan shampo memerlukan garam farmasi. Betapa luasnya kegunaannya. Kedelai edamame yang jadi makanan pembuka di restoran Jepang juga menggunakan garam farmasi.

Pabrik infus dari Jepang seperti Otsuka sudah berminat untuk membeli produksi Kimia Farma. Demikian juga pabrik-pabrik minuman seperti Pocari Sweat dan Coca Cola.

Tahun depan kalau Anda lagi diinfus, jangan terus mengira kalau bahan bakunya masih impor. Itu sudah dari Madura. Tapi lebih baik kalau Anda tetap sehat dan tidak memerlukan infus sama sekali.

Ditulis oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya