RI Adukan Pakistan ke WTO Soal Pajak Kertas

Pemerintah kesal atas sikap Pakistan yang mengenakan pajak tinggi terhadap produk kertas duplex asli Indonesia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Apr 2014, 17:24 WIB
Pemerintah kesal atas sikap Pakistan yang mengenakan pajak tinggi terhadap produk kertas duplex asli Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perdagangan (Kemendag) akhirnya mengadukan Pakistan ke Forum Penyelesaian Sengketa  Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).

Penyebabnya karena pemerintah kesal atas sikap Pakistan yang mengenakan pajak tinggi terhadap produk kertas duplex asli Indonesia.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Bachrul Chairi menegaskan, langkah ini merupakan kelanjutan dari proses bilateral sebelumnya antara Indonesia dan Pakistan yang tak menemui titik terang.

"Kita sudah nggak terima dengan Pakistan, makanya nggak datang penuhi undangan mereka lagi untuk lakukan public hearing dan pendekatan dengan kita," ungkap dia di Jakarta, Selasa (29/4/2014).

Bachrul mengaku, sikap yang ditunjukkan Indonesia sudah jelas memberi sinyal kepada Pakistan untuk membawa kasus pengenaan pajak kertas duplex tinggi asal Indonesia ke WTO.

"Ini sinyal kita melangkah ke WTO. Seingat saya berkas-berkas sudah (diajukan ke WTO), tapi saya cek dulu," lanjutnya.

Bachrul menganggap bahwa public hearing dengan Pakistan sangat tidak normal. Pasalnya pemerintah setempat memberlakukan bea masuk tinggi atas produk kertas dari Indonesia tanpa alasan yang jelas, sehingga pemerintah Indonesia menolak untuk hadir dalam undangan rapat tersebut.

"Sudah diundang dalam rapat tiga pekan lalu, tapi kami tolak. Public hearing sudah nggak normal, jadi kita pastikan akan terus melangkah ke WTO," tegas dia kembali.

Sekadar informasi, pengenaan bea masuk tersebut menyebabkan Indonesia kehilangan permintaan produk kertas duplex dari Pakistan, karena importir tak sanggup dengan pajak itu.

Kemendag mencatat negara ini kehilangan peluang ekspor kertas Indonesia ke Pakistan sebesar US$ 1 juta per bulan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya