Liputan6.com, Jakarta - Kurangnya perlindungan hukum terkait dengan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diluar negeri, haruslah membuat pemerintah berbenah dalam hal perbaikan regulasi.
Union Emigrant (UNIMIG) Indonesia mengatakan selama ini kebijakan untuk perlindungan TKI masih menumpuk di beberapa kementerian.
Presiden UNIMIG Indonesia Muhammad Iqbal menjelaskan karena banyaknya kementerian yang mengatur regulasi TKI membuat realiasi kebijakannya tidak permanen.
"Seharusnya BNP2TKI merangkap sebagai menteri. Jadi tidak ada dua kepala. Saya pernah studi banding ke Manila, Filiphina Overseas Agency. Semacam BNP2TKI. Dia tetap di bawah kementerian tenaga kerja di sana. Jadi tidak ada dua kebijakan," kata dia, Jakarta, Selasa (29/4/2014).
Ia mencontohkan di Departemen Sosial memiliki kebijakan yang mengatur TKI. Lalu di pemberdayaan perempuan juga memiliki kebijakan tersendiri. Belum lagi, kata dia regulasi di Kementerian Luar Negeri.
"Lha ini kan kacau. Seolah-olah membenahi karena ego sektoral. Nanti membentuk satgas lagi eksternal. Kalau bahasa psikologisnya karena nggak mampu, maka dilemparkan ke yang mampu," imbuhnya.
Di sisi lain, pihaknya menilai perlunya master plan yang mengatur tentang migrasi. Jelasnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pastilah arus migrasi tak dapat dihindari, maka dari itu dibutuhkan tempat-tempat yang bisa menjadi pembinaan TKI.
Ia menyebutkan, seperti halnya di Korea. Misalkan ada semacam kantor sebagai tempat aktivitas para TKI. Dan di tempat para TKI diberikan pembinaan.
Kemudian, perlu adanya manajemen buruh. Buruh TKI bukan lagi sebagai pekerja rumah tangga akan tetapi merupakan jenis pekerjaan.
"Buruh bukan pekerja rumah tangga. Itu jenis pekerjaan.Kalo kontraknya jaga bayi, jangan dia masak juga. Nanti yang terjadi overload. Kalau kerja nggak istirahat nanti stres bunuh orang,"ujar dia.
Advertisement