Benteng Pertahanan Anak dari Kejahatan

Peran orangtua terhadap tumbuh kembang anak menjadi benteng pertahanan anak untuk terhindar dari tindak kejahatan atau kriminalitas

oleh Abd diperbarui 01 Mei 2014, 09:00 WIB

Liputan6.com, Jakarta Peran orangtua terhadap tumbuh kembang anak menjadi benteng pertahanan anak untuk terhindar dari tindak kejahatan atau kriminalitas baik sebagai korban maupun sebagai pelaku.

Wacana ini terungkap dalam jumpa wartawan yang diselenggarakan Fakultas Ekologi Manusia dalam menyikapi kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Jakarta Internasional School (JIS), ujar Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Arif Satria di Bogor, seperti dikutip dari Antara, Kamis (1/5/2014).

"Orangtua hendaknya memberikan perhatian kepada setiap anak dengan penuh agar segala perubahan perilaku yang dialami anak dapat terdeteksi," katanya.

Arif mengatakan, orangtua juga harus memastikan setiap keluhan anak terkait fisik dan psikologinya ditanggapi dengan penuh perhatian dan serius. Mengecek keadaan fisik dan psikis anak setiap pulang sekolah, dan memilih sekolah yang dapat memastikan pertumbuhan perkembangan anak secara 'holistic' berbasis karakter.

Dijelaskannya, kasus kekerasan terhadap anak usia dini yang marak diberitakan saat ini tidak hanya terjadi di sekolah internasional di Jakarta, tetapi beberapa sekolah.

Menurutnya, perilaku seksual yang melampiaskan hasrat seksual pada anak-anak adalah tindakan yang harus dinyatakan sebagai "kekejaman" tingkat berat karena mengakibatkan kerusakan permanen pada pribadi dan pola pikir anak ketika dewasa.

Perilaku seksual pedophilia tersebut, lanjut Arif, adalah penyakit kejiwaan yang sangat merusak karena kemungkinan pelakunya melakukan atas dasar berbagai alasan, bisa dorongan seksual tak terkendali namun tak dapat menyalurkan hasrat seksualnya, dorongan karena terangsang saat melihat kejadian yang sama, atau karena pelaku pernah menjadi korban.

"Bisa juga karena pelaku merasa perbuatan tersebut tidak berdosa, tidak menyebabkan pelaku boleh atau mendapatkan keringanan hukuman. Karena pelaku seluruhnya adalah orang dewasan dan bukan anak-anak, sehingga setiap perbuatan kriminal orang dewas harus diberikan konsekuensi hukum sebagai layaknya orang dewasa," ujar Arif.

Lebih lanjut Arif mengatakan, akhir-akhir ini perilaku pedophilia dilakukan secara bekerjasama dan berulang-ulang pada korban. Ini memberikan kesimpulan bahwa tidak adanya pengawasan terhadap anak-anak di sekolah, terutama saat pukul 10.00-11.00 WIB dimana anak sedang istirahat di sekolah.

Pelaku juga merasa sangat aman melakukan perbuatan bejatnya karena diduga karena tidak ada perubahan perilaku pada korban (anak) yang diam, maka pelaku merasa korban tidak keberatan dengan perbuatan tersebut.

"Hal ini sangat keliru, karena anak kecil memang belum mengerti tentang konsep benar dan salah," ujar Arif.

Adanya budaya permisif di sekolah, lanjut Arif, membuat pelaku pedophilia bebas untuk melakukan aksinya. Karena berdasarkan laporan salah satu media bahwa budaya barat seperti berciuman dan berpelukan adalah perilaku yang umum terjadi di sekolah.

"Toilet yang terlalu jauh buat anak usia dini yang harus ditempuh dengan berjalan kaki cukup lama juga menjadi peluang bagi pelaku pedophilia. Harusnya toilet untuk anak-anak selayaknya berada dalam jangakauan pengawasan guru, pendampingan guru, asisten guru dan tutor di kelas," ungkap Arif.

Arif menambahkan, peran semua pihak untuk mencari solusi terhadap permasalahan tersebut sangat diharapkan. Selain orang tua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pihak sekolah serta pemerintah daerah harus bersama-sama mencarikan solusi agar hal serupa tidak lagi terjadi tidak hanya di Jakarta tetapi di seluruh Indonesia.

Masyarakat berpengetahuan luas

Media massa juga berperan dalam menyebarluaskan informasi untuk membangun budaya sehat, menciptakan masyarakat yang perpengetahuan luas, berfikir sehat dan berperilaku sehat demi kemajuan bangsa lebih baik di masa datang.

"Media massa harus juga turut membangun pengetahuan dan persepsi masyarakat. Berita seperti infotainment televisi juga harus memiliki sikap positif dan menentang adanya pornografi dan porno aksi dalam kehidupan generasi muda Indonesia. Gaya hidup permisif dan serba toleran atas nama kebebasan individu tentulah bukan bagian dari budaya Indonesia yang bermartabat. Sebaliknya budaya Indonesia adalah serba menahan diri, merasa malu, memprioritaskan kesucian pernikahan dan keharmonisan keluarga serta kekerabatan di atas segalanya," ujarnya.

Sementara itu, Dr Dwi Hastuti, Dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, FEMA-IPB (Pakar Perkembangan Anak) menawarkan solusi dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak usia dini salah satunya dalam pengelolan sekolah yang mendorong pendidikan karakter.

Ia mengatakan, sejak tahun 2010 IPB bekerjasama dengan Indonesia Heritage Foundation mengembangkan Labschool Pendidikan Karakter IPB-ISFA (Indonesia Singapore Friendship Association), yaitu lembaga pendidikan bagi anak usia dini yang memiliki visi untuk mengembangkan karakter dan kecerdasan anak sekaligus.

Metode yang dikembangkan adalah pembelajaran yang patut dan menyenangkan, dengan menggunakan proses belajar yang integrative, konkrit, menyenangkan dan patut sesuai umur anak, sehingga mampu mengembangkan seluruh kompetensi anak terutama karakternya.

"Bagi Labschool Pendidikan Karakter terbentuknya karakter anak yang berdasarkan 9 pilar karakter adalah hal paling utama, sementara kecerdasan akan mengikuti. Hal ini sangat penting karena pada usia lima tahun pertama kehidupan individu adalah periode kritis dimana intervensi nilai nilai kebajikan akan lebih mudah diintroduksikan pada anak sejak usia dini, dan hasil riset menunjukkan bukti adanya efek jangka panjang pendidikan karakter ketika kelak anak menjadi manusia dewasa," ujar Dwi.

Kurikulum yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di Labschool, lanjut Dwi, menjadi bagian tak terpisahkan dari perilaku semua pihak di Labschool, mulai dari kepala sekolah, guru, pengelola dan para staf pendukung seperti administrasi dan petugas keamanan maupun tenaga pembantu umum. Seluruh pihak sekolah diberikan teladan dan adab serta kebiasaan yang sesuai dengan norma dan kehidupan beragama yang dipeluknya.

Toilet yang dipisahkan antara siswa laki laki dan perempuan, proses pergantian baju dan pakaian dalam yang dilakukan secara tertutup, pengenalan anggota tubuh, berpakaian sopan dan santun juga menjadi bagian keseharian yang dijunjung tinggi di Labschool.

Ia menambahkan, penyebarluasan metode pendidikan karakter haruslah menjadi tujuan utama proses pendidikan bagi anak sejak usia dini, mengingat perilaku kebaikan (akhlakul karimah) bersifat universal dan haruslah dikenalkan pada anak sedini mungkin.

"Untuk itu dukungan dari seluruh pihak di sekolah dalam mengalirkan pendidikan karakter harus dilakukan segera dan dimulai dari guru. Jika guru berkarakter maka anak anak didikpun akan terbentuk karakternya," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya