Liputan6.com, Banyumas - Di antara gemuruh yang tak henti disertai lontaran sinar api dan material pijar yang dihembuskan Gunung Slamet, warga masih hilir mudik sibuk menggantungkan hidup di sana. Mereka percaya, Slamet tak akan meletus.
Bagi warga sekitar Slamet, 'batuknya' gunung setinggi 3.428 meter di atas permukaan laut itu bukanlah hal aneh. Sudah menjadi rutinitas, khususnya jelang Pilpres digelar. Aktivitas vulkanik Slamet selalu menunjukkan peningkatan setiap 5 tahun sekali.
"Biasa Mas, Slamet kaya gitu kalau mau ada acara nasional, seperti pemilihan presiden. Jadi setiap 5 tahun sekali sudah seperti itu," kata Sumiyati (50), warga di Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah kepada Liputan6.com, Minggu (4/5/2014).
Sumiyati mengatakan, masyarakat sekitar juga tetap berkegiatan seperti biasa. Mereka yang bertani tetap pergi ke ladang. Pun juga dengan mereka yang berkebun.
"Tetap biasa, kerja biasa. Karena masyarakat sini, yang sepuh-sepuh percaya, Slamet tidak akan meletus," ujar wanita yang sehari-harinya membuka warung makan di lokasi wisata Baturraden itu.
"Cuma batuk-batuk setiap pemilu."
Lebih Dahsyat 2009
Advertisement
Hal serupa juga diutarakan, Ketua Harian Paguyuban Masyarakat Pariwisata Baturraden, Supriyono. Menurut pria yang akrab disapa Asong itu, Slamet akan selalu menunjukkan siklus 5 tahunan itu. Meski siklusnya ini telah terjadi sejak kurang lebih 2 bulan belakangan. Suara dentuman disertai semburan asap vulkanik beberapa kali dari puncak Slamet.
"Ini siklus hampir 5 tahunan sekali. Setiap menjelang pemilu. Itu selalu seperti itu dari saya kecil," ujarnya.
Asong bercerita, jelang Pilpres 2009 silam, gunung tertinggi kedua se-Jawa itu juga menunjukan kecenderungan serupa. Bahkan keadaannya saat itu sedikit lebih dahsyat daripada saat ini. Lava pijar sampai terlihat dari kawasan Baturraden.
"Padahal kawah Slamet itu tertutup tebing puncak dan menghadap ke utara. Biasanya dari sini cuma kelihatan asap saja. Tapi waktu 2009 sampai kelihatan lava pijarnya."
Karena posisi kawah yang menghadap utara atau ke arah Kabupaten Tegal dan Pemalang itu, tambah dia, masyarakat yang berada di sekitar Kabupaten Banyumas dan Purbalingga merasa tidak begitu khawatir.
"Kenapa masyarakat sini adem ayem? Itu karena dampak erupsinya kecil ke arah sini. Kalau pun ada dampak erupsi besar, itu ke arah utara," pungkas Asong.
Catatan Erupsi
Berdasarkan catatan vulkanologi Gunung Slamet, erupsi pertama gunung tertinggi (3.428 m) di Jawa Tengah itu terjadi pada 1772. Lalu pada 1955, tahun yang sama dengan Pemilu pertama kali digelar di Indonesia, Slamet mengalami letusan abu dan lava pada 12-13 November, 6 Desember, dan 16 Desember.
Sejak 1955 hingga 2014, tercatat ada 15 letusan yang dialami Gunung Slamet. 3 Letusan terakhir juga terjadi di tahun yang sama dengan digelarnya pesta demokrasi di Indonesia.
Yakni pada 1999, Gunung Slamet mengalami erupsi kecil, lalu pada 2009 kembali terjadi erupsi kecil sepanjang Mei hingga Juni. Saat itu puncak gunung mengeluarkan lava pijar, tetapi tertutup kabut dan teramati asap putih tipis-tebal setinggi 25-1000 meter dari puncak. Kemudian, pada 10 Maret 2014, sekitar pukul 21.00, status Gunung Slamet dinaikkan menjadi Waspada. Sehari kemudian, terjadi 450 kali letusan kecil. Rabu, 12 Maret 2014, pukul 06.53 WIB, Gunung Slamet mengeluarkan letusan abu hitam pekat. (Mut)