Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian memandang pemerintah belum perlu membuat kebijakan mengenai produksi mobil berbahan bakar ganda (dual fuel). Pandangan Kementerian Perindustrian ini bertolak belakang dengan pandangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian Budi Darmadi mengatakan, sebenarnya kebijakan untuk mewajibkan produsen otomotif membuat mobil dual fuel ini tidak diperlukan, karena mobil yang diproduks saat ini pun bisa menjadi dual fuel.
Advertisement
"Secara engineering, semua mobil kalau dipasangkan konverter kit, itu sudah bisa dual fuel," ujarnya di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2014).
Namun memang diakui Budi, dengan hanya memasang konverter kit, mekanisme dual fuel pada kendaraan tidak berjalan secara optimal. "Kalau dia pakai gas terus, mesinnya kering, jadi tidak bisa banyak," lanjutnya.
Pemasangan konverter kit juga punya kelemahan lain yaitu memakan tempat di dalam mobil. Pasalnya, mobil harus dipasang tabung untuk Bahan Bakar Gas (BBG). Hal ini yang masih membuat pemiliki kendaraan enggan memasang konverter kit.
"Tinggal pemiliknya mau beli konverter kit atau tidak, karena belakang mobilnya harus dipasang tabung, itu memakan tempat. Sekarang sifatnya masih volunteer, belum mandatori," katanya.
Selain itu, kendala besar dari program konversi ini adalah ketersediaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Indonesia yang saat ini terhitung masih sangat sedikit sehingga belum mampu memenuhi kebutuhan pengguna BBG.
"SPBG di Indonesia sedikit, kalau di Thailand sudah sampai 500 SPBG. Kalau dipaksa nanti mau isi dimana. Harus ada yang siapkan SPBG, baru orang mau gunakan itu," tandasnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah merancang kebijakan soal produksi mobil berbahan bakar ganda atau dual fuel, dengan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong konversi BBM ke BBG. (dny/gdn)