Pembangunan Monorel Mandek, Operator Salahkan Pemprov DKI

Sejumlah perencanaan dalam business plan tak mendapat restu dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

oleh Andi Muttya Keteng diperbarui 06 Mei 2014, 21:21 WIB
Fondasi monorel terbengkalai di tengah ruas Jalan Rasuna Said, Jakarta. Proyek yang menghubungkan beberapa titik di Jakarta, saat ini menjadi onggokan besi tua yang mengganggu keindahan.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Sejak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo meletakkan batu pertama untuk menandai dimulainya pembangunan monorel di Jakarta, sejak itu pula pembangunan transportasi massal itu mandek.

Dirut PT Jakarta Monorel John Aryananda mengatakan, proyek monorel mandek karena terhambat permasalahan bussines plan (perencanaan pembangunan). Sehingga perjanjian kerja sama (PKS) sulit diteruskan.

Masih kata John, sejumlah perencanaan dalam business plan tak mendapat restu dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI juga kerap mengoreksi perencanaan bisnis Jakarta Monorel. Salah satunya terkait jumlah penumpang.

"Kita awalnya bikin bussines plan dengan penumpang 250.000 per hari, terus Pemprov bilang nggak mungkin, kebanyakan," ujarnya di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (6/5/2014).

PT JM pun mengubah skema bisnis dengan mencari keuntungan dari non-tiket karena jumlah penumpang tidak akan mencapai 250.000 orang per hari. Akhirnya, PT JM memutuskan untuk menarik keuntungan dari penjualan area komersil seperti kios-kios di stasiun dan iklan, bukan lagi dari penjualan tiket.

PT JM juga mengajukan operasi monorel oleh mereka sendiri maksimal 50 tahun hingga balik modal. "Namun lagi-lagi ditolak Pemprov DKI. Kajian bisnis kita untuk menjalankan bisnis selama 50 tahun dinilai terlalu besar mengambil keuntungan, padahal kita sudah buka rahasia hitung-hitungan bisnis kita," tutur John.

Disamping itu, lanjutnya, pembahasan PKS lambat karena banyaknya aturan baru dalam perjanjian tahun 2004 hingga 2014. Di antaranya, aturan mengenai kerjama pemerintah dan swasta, aturan perkeretaapian, dan terkait Peraturan Gubernur dan Perda DKI mengenai tata ruang.

John memisalkan, untuk stasiun strukturnya menggunakan ruang udara ke atas. Namun, aturan yang ada sama seperti aturan jembatan mall, seperti di Glodok, Pasar Baru, Pondok Indah Mall, dan Grand Indonesia. "Itu kan beda, kita ini untuk transportasi, bukan untuk mall," tegasnya.

Persoalan depo monorel untuk parkir dan perawatan, menurut John, juga ikut menjadi hambatan. PT JM membutuhkan area 7 sampai 10 hektar di dalam kota untuk Depo. Ia mengatakan, seandainya Pemprov DKI tidak bersedia menyediakan lahan, pihaknya masih mampu menyewa atau membeli lahan.

"Tapi izinnya itu tidak bisa keluar. Saya berharap ada perubahan aturan dari Pemprov DKI khusus untuk Monorel," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya