13 Tahun Lalu, Ketika Koneksi Internet Lambat

Tahun 2001, saya mulai mengerjakan skripsi guna memenuhi persyaratan kelulusan dari Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang.

oleh Karmin Winarta diperbarui 13 Mei 2014, 15:47 WIB
Tahun 2001, saya mulai mengerjakan skripsi guna memenuhi persyaratan kelulusan dari Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang.

Citizen6, Jakarta Tahun 2001, saya mulai mengerjakan skripsi guna memenuhi persyaratan kelulusan dari Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang. Saya mengambil tema skripsi tentang Industri Pariwisata di Jawa Tengah. Bahan-bahan skripsinya saya cari di perpustakaan kampus dan dinas pariwisata Jawa Tengah. Suatu ketika, teman satu kontrakan mengajak saya ke warnet (warung internet). Katanya, dia mau mencari bahan skripsi di sana. Saya bertanya-tanya, “apa bisa bahan skripsi dicari di warnet?’

Pada tahun itu, belum banyak orang yang mengakses internet dari Smartphone atau modem di rumah. Akses internet lebih banyak diperoleh dari warnet. Warnet-warnet pun bertebaran di sekeliling kampus, tapi saya belum pernah sekali pun menginjakkan kaki ke sana karena merasa belum perlu. Teman-teman lain sudah banyak yang berkenalan dengan internet, entah untuk mencari bahan kuliah, skripsi, maupun main game. Tarif internet per jam Rp 5.000, buat saya tergolong mahal. Kalau sudah bersentuhan dengan internet, waktu berjam-jam pun terlewatkan. Penasaran ingin tahu seperti apa internet, saya mengikuti teman saya itu ke warnet.

Bagaimana rasanya? Takut. Ya, namanya juga berkenalan dengan benda baru. Pertama, saya takut salah! Teman saya mengajari membuat email. Saya bahkan menggunakan password email yang mirip dengan password email teman saya. Sampai sekarang, password email itu masih sama karena masih aman-aman saja. Ketakutan kedua, saya takut tarifnya membengkak karena kami terlalu lama di warnet. Maklum, uang saku tipis. Belum lagi akses internetnya juga lambat, sehingga kami bisa mengobrol sambil menunggu akunnya terbuka. Teman saya memberitahu soal Google, tempat di mana kita bisa mencari apa saja dengan kata kunci tertentu. Apakah kemudian saya mencari bahan skripsi di internet sebagaimana yang saya niatkan?

Tidak. Saya justru asyik membuka akun jejaring sosial, ikut berbagai milis, dan bahkan mencari kesempatan menawarkan naskah kepada penerbit. Ya, betul, pada saat itu saya sudah mulai menulis dan sering mengirimkan tulisan ke media. Bukan menulis skripsi, lho. Iya, saya memang sedang menulis skripsi, tapi itu semata hanya untuk melengkapi kelulusan. Saya lebih senang menulis cerpen dan novel. Beberapa cerpen saya waktu itu sudah sering dimuat di majalah. Sebelum berkenalan dengan internet, saya harus memberi majalah dan bukunya dulu untuk mencari alamat penerbit dan media tersebut. Setelah ada internet, saya bisa tanya ke Mbah Google. Saya malah aktif di milis kepenulisan, sampai kemudian berkenalan dengan seorang sekretaris redaksi dari sebuah majalah. Pengetahuan saya mengenai dunia tulis menulis semakin meningkat. Kesempatan untuk mengirim naskah ke penerbit pun terbuka lebar.

Wow! Internet benar-benar membuat saya ketagihan. Saya dan teman saya berburu warnet dengan tariff murah, tapi aksesnya cepat. Ada warnet di sebelah perpustakaan kampus, tapi lambat sekali. Rasanya percuma berjam-jam duduk, tapi hanya sedikit informasi yang bisa diperoleh. Kami rela datang ke warnet yang lebih jauh, asal pelayanannya memuaskan. Kalau sudah duduk di depan internet, rasa lapar pun terlupakan. Uang puluhan ribu melayang untuk membayar biaya internet. Bayangkan dengan sekarang, tariff berlangganan per bulan hanya Rp 65.000, sesuai tariff paket internet dari operator seluler yang saya gunakan.

Saya juga mendapatkan pekerjaan tetap pertama kalinya dari internet! Setelah lulus kuliah, saya sibuk mencari pekerjaan ke mana-mana, melihat lowongan pekerjaan di Koran Minggu, mengirimkan berkas lamaran. Hasilnya? Hanya sampai pada tahap wawancara. Sampai kemudian sekretaris redaksi yang berkenalan dengan saya melalui email itu, memberitahukan bahwa ada lowongan magang di kantornya. Saya dibayar sesuai gaji karyawan yang sedang cuti melahirkan itu. Wow! Tentu saya ambil kesempatan itu. Setelah selesai magang, lagi-lagi saya mendapatkan pekerjaan dari internet, melalui milis kepenulisan  yang saya ikuti.

Mengenai skripsi, oh ya, memang saya mulanya berinternet untuk mencari bahan skripsi walaupun kemudian lebih banyak mencari informasi pengiriman naskah. Setidaknya, ketika skripsi saya selesai, novel pertama saya pun selesai.  Rasanya berinternet pertama kali, sungguh menakjubkan!

Penulis:

Leyla Imtichanah

Twitter: @LeylaHana


Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan link postingan terbaru blog Anda atau artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya keCitizen6@liputan6.com.

Mulai Selasa, 9 Mei  2014 sampai dengan 25 Mei 2014, Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Pengalaman Pertama Berinternet". Ada 2 router DLink (DIR-605L) untuk 2 orang pemenang  dan 4 merchandise ekslusif dari Liputan6. com. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.  Program menulis bertopik kali ini disupport oleh @DlinkID

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya