Liputan6.com, Jakarta - Sosialisasi 4 pilar berkebangsaan dan bernegara gencar dilakukan MPR periode 2009-2014. Bagaimana nasib 4 pilar kala MPR berganti anggota?
Liputan6.com berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto. Ia membeberkan terkait masa depan 4 Pilar berkebangsaan dan bernegara. Berikut petikan wawancaranya:
MPR RI periode 2009-2014 gencar sekali menyosialisasikan 4 Pilar berkebangsaan dan bernegara, sejauh ini hasil yang sudah tercapai apa saja?
4 Pilar berkebangsaan dan bernegara ini bukan hanya tanggung jawab MPR, DPR, DPD, tapi semua lembaga tinggi negara, semua masyarakat, tanggung jawab kita semua termasuk lembaga penyiaran. Bahwa dalam era globalisasi ini kita rasakan ada erosi kebangsaan, nilai karakter bangsa yang tererosi oleh budaya dari luar, jadi kita harus melakukan sesuatu untuk membangkitkan kembali national heritage dari founding father, Pancasila, UUD 1945, NKRI untuk dimasukan kepada seluruh elemn bangsa supaya karakter bangsa ini bisa terkawal dan lestari.
Evaluasinya setelah berjalan hampir 5 tahun ini apa saja?
Memang ini harus berlanjut karena kita tahu pengaruh budaya luar deras dari mana saja karena globalisasi. Contohnya bagaimana Gangnam Style dari Korea itu begitu populer, bagaimana budaya Jawa, Sunda, budaya darah kita terkikis, kalah dari luar. Ini lampu kuning bagi kita. Kalau Kita tengok Jepang dan Korea, semaju itu negara tapi tetap menjaga karekter budayanya. Ini patut kita contoh, mereka kerja keras, disiplin rasa tanggung jawab, itu karakter bangsa Jepang.
Setelah 5 tahun, peniliai Ketua MPR terhadap anggota periode ini sepeti apa?
Belum optimal. Produk tugas dewan legal drafting (perumusan Undang-Undang), controling dan budgeting kan kita lihat semua bahwa legal drafting hasilnya separuh, sepertiga dari target, jadi belum optimal. Ini semua sumbernya karena kita belum siap dengan Pemilu suara terbanyak. Suara terbanyak menimbulkan benturan eksternal maupun internal, persaingan itu ujung-ujungnya pada duit.
UUD 1945 Pasal 22E itu menyebutkan pemilihan anggota DPR itu harus partai politik, kalau DPD perorangan. Artinya yang menetukan calon nomor 1 atau 2 itu adalah partai politik yang ditusuk adalah partai. Sekarang angkatan 2009 banyak yang pintar-pintar itu tidak terpilih karena modalnya cekak semua. Orang intelektual kan rata-rata uangnya terbatas semua, mereka jadi tidak terpilih. Yang terpilih yang punya uang atau public figure. Soal kemampuan hanya 30% yang perform sebagai anggota dewan, disiplinnya juga kurang.
Apa saja yang harus dibenahi?
Kaderisasi parpol harus mementingkan pada kapasitas mereka, integritas mereka. Public figure boleh tapi harus educated dan tidak instan, harus graduate dari sekolah tinggi karena jadi perumus undang-undang itu kan tidak mudah. Jadi dia harus banyak baca, berani diskusi di publik. Benturan-benturan ini harus dialami dulu sebelum jadi member of parlement.
Pemilih di luar negeri mereka perutnya sudah kenyang, jadi memilih figur atau tokoh. Kalau dikasih uang pun tidak berpengaruh. Pemilih di sini perut masih lapar, rata-rata pendidikan masih SMP, akibatnya pengaruh uang masih kuat. Akibatnya cost politic mahal untuk jadi DPR/DPD maupun kepala daerah. Akibatnya separuh kepala daerah masuk asrama, sekian ratus anggota dewan di pusat maupun daerah juga sama banyak yang ditangkap KPK.
Apakah Anda kembali maju sebagai anggota DPR?
Saya sekarang tidak mencalonkan anggota DPR lagi. Saya sekarang caleg DPD dari Yogyakarta, karena saya memang tidak boleh mundur dari partai, tapi saya juga sudah tidak muda lagi. Kalau saya kembali jadi caleg DPR di dapil saya maka calon yang lebih muda bisa tidak terpilih nanti. Jadi saya ambil kesempatan lain supaya putra daerah yang muda di situ muncul.
Sebagai politisi senior di PDIP, kinerja mesin partai menjelang Pilpres 2014 seperti apa?
Semua partai tidak hanya PDIP harus lebih dioptimalkan ya, semua harus memperbaiki diri. Kaderisasi terutama ya itu nomor 1, betul-betul harus direkrut orang yang punya kapasitas dan integritas, punya karakter.
Apa penilaian Anda terhadap Jokowi Effect?
Ibu Megawati, kita mengusung Risma di Surabaya, Ganjar di Jawa Tengah, Jokowi di Jakarta memberikan efek positif di daerahnya masing-masing. Ini adalah contoh bagaimana kaderisasi berjalan baik, positif. Jokowi menampilkan sosok yang sederhana, sepatunya, bajunya itu kelas tanah abang. Rakyat sekarang memimpikan pemimpin yang sederhana. Memang ini orang Indonesia butuh keteladanan. Kalau bos pakai baju begini ikut, pakai kendaraan ini ikut.
Kriterianya capres ideal menurut Anda seperti apa?
Kalau saya ini rakyat mengharapkan sosok yang dicapreskan adalah yang jujur, sederhana, yang meneladani, bisa memberikan teladan ke bawah.
Apa yang akan anda sampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia?
Saya harapkan suapaya Golput ini seminimal mungkin, saya harapkan semua ikut aktif dalam pemilu terutama para pemilih pemula. Karena kualitas demokrasi ditentukan oleh makin banyaknya yang memilih. Untuk pilpres, calon jangan lebih dari 3 kalau bisa.
Advertisement