Liputan6.com, New York - Para konsumen biasanya memilih meninggalkan tempat belanja jika menemukan pelayanan yang kurang menyenangkan dari tempat tersebut. Namun berbeda dengan kondisi tersebut, para pecinta barang mewah justru akan menghabiskan uang belanja lebih banyak saat pelayanan yang diterima kurang memuaskan.
Seperti dikutip dari Business Insider, Rabu (14/5/2014), mengacu pada studi terbaru dari Profesor Sauder School Business Darren Dahl dan Asisten Profesor Pemasaran di Southern Methodist University, pelayanan yang buruk dan tak sopan memotivasi para konsumen untuk berbelanja lebih banyak.
Advertisement
Saat mendapatkan pelayanan yang kurang menyanangkan, para konsumen semakin bersemangat menggunakan kartu kreditnya untuk membeli barang-barang mewah yang diinginkan.
"Para pelayan yang mengatakan beberapa orang sebenarnya tidak cocok menggunakan barang-barang bermerek justru bisa menjadi motivasi bagi para konsumen untuk membuktikan dirinya mampu membeli barang-barang mewah di toko tersebut. Alhasil, banyak konsumen mengeluarkan uang jauh lebih banyak untuk membeli barang-barang di sana," terang Dahl.
Bahkan saat pelayan mengatakan salah satu konsumennya tidak layak berada di sana, itu membuatnya semakin ingin diterima di toko barang mewah tersebut.
Dalam penelitian bertajuk 1Should the Devil Sell Prada? Retail Rejection Increases Aspiring Consumers’ Desire for the Brand` itu, banyak orang yang baru menyadari dirinya tidak membutuhkan barang-barang mewah tersebut justru setelah membelinya.
Menurut studi tersebut, para pelayan yang berani berkata tidak sopan hanya dipekerjakan di toko-toko barang-barang berkelas dunia dan super mahal. Pasalnya, di tempat belanja murah, masyarakat akan langsung meninggalkan toko jika disinggung seperti itu.
Meski demikian, pelayanan yang tidak sopan tetap saja berdampak negatif pada merek tempatnya bekerja. Para konsumen tetap akan mengingat kesan negatif yang diberikan.
"Tetap saja bagi merek-merek mewah, strategi terbaik adalah dengan memberikan pelayanan terbaik," ungkap Dahl.
Dua peneliti tersebut mengintegorasi sekitar 350 orang yang pernah mendapatkan pelayanan yang buruk dari pekerja toko. Pengamatan juga dilakukan pada sikap para pembeli setelah meninggalkan toko tersebut. (Sis/Ahm)