Liputan6.com, Jakarta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang kasus dugaan korupsi kegiatan pertemuan dan sidang internasional di Departemen Luar Negeri -- sekarang Kementerian Luar Negeri -- selama 2004-2005, dengan terdakwa mantan Sekjen Kementerian Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat.
Dalam sidang ini, salah satu saksi yang dihadirkan adalah mantan Kepala Bagian Analisa Kebutuhan dan Pengadaan Biro Perlengkapan Kemenlu, Endang Rahmat. Dia mengaku pernah diperintahkan menyusun dokumen kegiatan sidang dan konferensi internasional. Namun, penyusunan itu baru diperintahkan disusun setelah kegiatan selesai.
Advertisement
Rahmat juga mengaku pernah menolak. Namun, mantan Kepala Biro Keuangan Kementerian Luar Negeri Warsita Eka tetap memintanya untuk menyusun dokumen tersebut.
"Karena sidang sudah berlalu, saya sempat menolak. Tapi Pak Warsita mengatakan ini kompilasi dokumen untuk kelengkapan administrasi," kata Rahmat di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (14/5/2014).
Rahmat menjelaskan, sejumlah dokumen yang pernah disusun di antaranya pembentukan panitia pengadaan, penyusunan harga perkiraan sendiri, rekapitulasi kegiatan, termasuk undangan rekanan.
Rahmat mengaku, tak pernah memperkirakan dokumen itu disalahgunakan. Sebab, selama menyusun dokumen dirinya berpikir hanya untuk memenuhi administrasi. "Saya tidak terpikir itu disalahgunakan. Itu yang saya sesalkan saat ini," ujarnya.
Mantan Kepala Biro Tata Usaha dan Perlengkapan Kemenlu Freddy Sirait yang dihadirkan sebagai saksi, juga mengutarakan hal serupa. Ia mengaku diperintahkan Warsita untuk menandatangani sejumlah dokumen. Warsita saat ditanya, lagi-lagi mengaku hanya untuk kompilasi dokumen.
"Saya wanti-wanti, apakah ini untuk pertanggungjawaban? Tapi dia (Warsita) bilang tidak. 'Ini dokumen kompilasi', jadi saya tidak perkirakan konsekuensi saat itu," kata Freddy.
Kendati demikian, Freddy mengaku tidak mengingat secara rinci dokumen apa saja yang pernah ditandatanganinya. Sebagai anggota panitia pengadaan, ia mengklaim hanya menandatangani dokumen yang isinya tercantum namanya.
"Dokumen itu sudah utuh, sudah dicetak. Saya hanya diminta tandatangan," ujarnya.
Sementara Warsita mengaku memang meminta dibuatkan dokumen dalam setiap kegiatan sidang dan konferensi internasional. Namun hanya untuk melengkapi kekurangan dokumen sebelumnya dan beberapa dokumen baru disusun setelah kegiatan selesai dilakukan.
"Ada beberapa proses pengadaan itu tidak lengkap (dokumen)," ujar Warsita.
Sudjadnan didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp 4,570 miliar dalam pelaksanaan kegiatan 12 pertemuan dan sidang internasional oleh Deplu selama 2004-2005.
Dalam dakwaan disebut, dari uang Rp 4,570 miliar itu, Rp 300 juta diambil untuk kepentingan Sudjadnan. Sisanya, Sudjadnan memberikan untuk memperkaya orang lain, di antaranya Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka sebesar Rp 15 juta, Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Sekjen Deplu I Gusti Putu Adnyana Rp 165 juta, Kepala Bagian Pengendali Anggaran Sekjen Deplu Suwartini Wirta sebesar Rp 165 juta, dan Sekretariat Jenderal Deplu Rp 110 juta.
Tak cuma itu, dalam dakwaan disebut juga nama Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Susilo Bambang Yudhoyono, Hassan Wirajuda ikut kecipratan hasil dugaan korupsi yang dilakukan Sudjadnan. Hassan yang saat kasus itu terjadi menjabat Menteri Luar Negeri kebagian dana sebesar Rp 440 juta dari Sudjadnan.
Atas perbuatannya itu, Sudjadnan didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana. Berdasar ketentuan pasal tersebut, Sudjadnan terancam hukuman pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. (Yus)