Pendapatan Negara Turun, Subsidi BBM Bengkak Rp 75 Triliun

Kondisi perekonomian domestik menunjukkan perkembangan memburuk yang terlihat dari realisasi kuartal I 2014.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Mei 2014, 14:15 WIB
SPBU (ANTARA Foto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menyatakan kondisi perekonomian domestik menunjukkan perkembangan memburuk yang terlihat dari realisasi kuartal I 2014. Kondisi tersebut membuat pemerintah mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di tahun ini.

Menteri Keuangan Chatib Basri memproyeksikan penurunan signifikan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan dibandingkan target dalam APBN 2014.

Pendapatan negara dalam Rancangan APBN Perubahan 2014 merosot Rp 69,4 triliun menjadi Rp 1.597,7 triliun dari asumsi sebelumnya Rp 1.667,1 triliun. Sedangkan pendapatan dalam negeri diperkirakan hanya mencapai Rp 1.595,4 triliun dari APBN Rp 1.665,8 triliun.

Sementara penerimaan perpajakan terpaksa harus menciut dari perkiraan di APBN sebesar Rp 1.280,4 triliun menjadi Rp 1.232,1 triliun atau merosot Rp 48,3 triliun. Dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari Rp 385,4 triliun menjadi Rp 363,3 triliun.

"Penurunan itu utamanya disebabkan oleh perkiraan lebih rendahnya target pertumbuhan ekonomi tahun ini, penurunan harga komoditas, dan tidak tercapainya realisasi penerimaan pajak di tahun lalu. Sedangkan penurunan PNBP karena rendahnya asumsi lifting minyak bumi di 2014," jelas Chatib di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/5/2014).

Catatan berbeda terjadi pada belanja negara. Dalam asumsi RAPBN-P 2014, belanja negara mengalami kenaikan akibat pembengkakan anggaran pada pos-pos belanja, seperti subsidi BBM dan listrik.

Belanja negara diperkirakan mencapai Rp 1.849,4 triliun atau naik Rp 6,9 triliun dibanding APBN tahun ini Rp 1.842,5 triliun. Belanja pemerintah pusat terdorong naik Rp 13,9 triliun dari Rp 1.249,9 triliun menjadi Rp 1.265,8 triliun.

Belanja pemerintah pusat, terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) dan non K/L yang masing-masing mengalami lonjakan hingga Rp 98,5 triliun dan Rp 114,3 triliun. Belanja K/L tercatat dari Rp 637,8 triliun menjadi Rp 539,3 triliun dan belanja non K/L dari Rp 612,1 triliun menjadi Rp 726,4 triliun.

Paling mengkhawatirkan adalah belanja subsidi BBM, elpiji dan bahan bakar nabati (BBN) yang mengalami peningkatan dari Rp 210,7 triliun menjadi Rp 285 triliun atau naik Rp 75 triliun. Dan subsidi listrik menjadi Rp 107,1 triliun atau naik Rp 35,7 triliun dari sebelumnya Rp 71,4 triliun.

Chatib mengaku, pelaksanaan APBN tahun ini mengalami tantangan berat terutama dari sisi belanja negara. Dia melanjutkan, terjadi peningkatan beban subsidi energis ecara signifikan akibat pelemahan nilai tukar rupiah terjadap dolar AS.

"Nilai tukar rupiah melemah dari Rp 10.500 per dolar AS menjadi Rp 11.700 per dolar AS. Tekanan juga berasal dari kewajiban atas kegiatan tahun lalu yang harus dibayar tahun ini, seperti subsidi BBM dan subsidi listrik, dana bagi hasil dan kewajiban lain," terangnya.

Hal ini menimbulkan target defisit anggaran makin melebar dari 1,69% menjadi 2,50% di RAPBN-P 2014. Sehingga pemerintah harus mencari pembiayaan lain untuk menutupi defisit yang membengkak Rp 76,3 triliun. Pembiayaan diperkirakan menjadi Rp 251,7 triliun dari sebelumnya Rp 175,4 triliun.

Pemerintah juga merevisi asumsi dasar ekonomi makro tahun 2014, antara lain pertumbuhan ekonomi menjadi 5,5%, inflasi 5,3%, nilai tukar rupiah Rp 11.700 per dolar AS, tingkat bunga SPN 3 bulan 6,0%. Selain itu, harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 105 per barel, lifting minyak bumi 818 ribu barel per hari dan lifting gas bumi menjadi Rp 1.224 ribu barel setara minyak per hari. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya