Liputan6.com, Jakarta - Keterbatasan infrastruktur, sistem dan sumber daya manusia (SDM) di sembilan titik resmi perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste tak menghalangi petugas KPPBC Atapupu untuk menjaga negara ini dari masuknya barang-barang selundupan.
Kepala KPPBC Tipe Pratama Atapupu, I Nyoman Ary Dharma menyebut, dalam periode Februari-April tahun lalu, pihaknya telah menggagalkan kasus penyelundupan narkoba di kantor bantu BC Mota'ain, pos terbesar di KPPBC Atapupu.
"Ada dua kali penangkapan tapi tahun lalu kita sudah koordinasikan dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). Tapi hasilnya nihil. Mungkin sudah nggak berani lagi lewat, mengingat hukuman di Timor Leste masih rendah sehingga jadi surga bagi para trafickers," ucap dia di Metamauk, Kabupaten Malaka, NTT, seperti ditulis Jumat (23/5/2014).
Berdasarkan data, ada dua kasus penyelundupan narkoba sebelumnya di Oktober 2012. Dilakukan oleh penumpang Timor Travel, kedua pelaku berinisial AR dan IS itu menyelundupkan methamphetamine masing-masing seberat 2.456,1 gram dan 2,96 kilogram (kg).
Selama ini, tambah Nyoman, Indonesia 90% lebih memasok bahan-bahan pokok ke Timor Leste. Ekspor Indonesia ke negara tersebut berupa bahan bangunan untuk keperluan pembangunan, barang konsumsi misalnya mie instan, air mineral dan sebagainya. Sedangkan Timor Leste tak banyak melakukan ekspor ke Indonesia, misalnya hasil bumi seperti kopi, kopra dan kemiri.
"Karena impor dikit, jadinya tidak ada penerimaan untuk itu. Tapi kalau dari hasil ekspor, sumbangan devisanya sekitar US$ 200 ribu," sambungnya.
Untuk menjaga wilayah perbatasan tersebut dari aktivitas perdagangan ilegal, Kepala Sub Seksi Internal dan Penyuluhan BC Atapupu, Samdyss menyebut, pihaknya sangat ketat memeriksa setiap keluar masuk barang. Semua dilakukan secara manual.
"Untuk ekspor tidak diperiksa, makanya fokus kami di impor. Jadi pengimpor harus melewati enam tahap pemeriksaan yang dikerjakan secara manual tanpa x-ray dan lainnya," jelas dia.
Menurut Samdyss, tahapan yang harus ditempuh adalah proses profiling, stempel barang di imigrasi, lalu pemeriksaan di bea dan cukai. Setelah itu berlanjut pos karantina, lalu ke kepolisian dan terakhir di koramil.
"Biasanya setiap tahapan butuh waktu 10 menit saja, kecuali ada indikasi penyelundupan di mana pemeriksaan bisa memakan waktu dua jam," paparnya.
Dia mengaku, petugas bea dan cukai dapat mengendus barang penyelundupan dari hasil profiling yang mencurigakan meski tanpa bantuan x-ray.
"Dari berkas-berkas itu bisa ketahuan, dan jika ketahuan benar maka langsung diserahkan ke kepolisian. Indikasi memang harus kuat, karena kalau tidak, kita akan dianggap menghambat ekspor," tukas Samdyss. (Fik/Ndw)
Advertisement