Komisaris Utama Pertamina Soegiharto: Saya Tidak Mau Miskin Lagi

"Saya harus berubah. Paling tidak nggak jatuh miskin lagi, dan setidaknya bisa membantu adik-adik yang masih sekolah" ungkap Soegiharto

oleh Septian Deny diperbarui 23 Mei 2014, 15:05 WIB
Komisaris Utama Pertamina

Liputan6.com, Jakarta - Ada orang yang bisa hidup berkecukupan tanpa harus bekerja keras karena mempunyai harta yang diwariskan oleh orangtuanya. Namun ada juga orang yang harus banting tulang dulu baru bisa hidup layak, atau bahkan sukses dengan harta yang berlimpah.

Orang seperti ini baru bisa dikatakan sebagai orang yang hebat, karena mampu melewati kesulitan dan sanggup mengubah nasib dengan tangannya sendiri, tanpa harus bergantung dengan orang lain.

Salah satu orang hebat tersebut adalah Soegiharto. Siapa sangka, mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini ternyata hanyalah anak seorang tukang bubur ketan hitam.

Untuk berada di posisinya saat ini, Soegiharto harus melewati berbagai tantangan dan kesulitan hidup sejak kecil. Mulai dari menjadi pembantu rumah tangga, pedagang asongan, tukang parkir hingga kuli angkut bangunan, seluruh profesi itu pernah dijalaninya dengan ikhlas.

Namun hal inilah yang membentuk sosok Soegiharto menjadi pribadi yang tangguh, tidak mudah menyerah, dan selalu bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan kepadanya.

Saat ditemui Liputan6.com, seperti ditulis Jumat (23/5/2014), usai menjadi salah satu pembicara dalam seminar kewirausahaan, Soegiharto menceritakan kisah hidupnya sejak kecil hingga menjadi

Bisa diceritakan kisah kehidupan Anda semasa kecil hingga bisa menjadi sosok seperti saat ini?

Saya terlahir sebagai orang yang tidak berkecukupan, tidak beruntung. Sebagai putera Jawa kelahiran Pulau Sumatera. Demi  mengubah nasib, orangtua saya membawa hijrah ke jakarta.

Di Jakarta, orangtua berjualan kacang dan keripik. Kemudian ayah saya berjualan bubur ketan hitam untuk membiayai tujuh orang anaknya yang bersekolah.

Saya waktu itu tahu betul bahwa orangtua saya sangat susah bahkan hanya untuk makan sehari-hari, kami dijatah, kadang bubur, kadang puasa. Ketika SMP, orangtua merelakan saya menjadi pembantu di wilayah Tanjung Priok.

Berbekal kejujuran sehingga mendapatkan tips, saya mengumpulkan uang menjadi pedagang asongan, sambil menjadi pembantu rumah tangga.  Karena induk semang memiliki bioskop, setelah selesai bekerja yaitu pada malam harinya, saya ikut menjaga parkir di bioskop induk semang saya. Jadi ketika SMA, saya menjadi juru parkir sekaligus pelajar SMAN 13 Jakarta.

Bagaimana Anda ketika itu membagi waktu antara bekerja juga belajar?

Dalam keremangan malam di atas motor, sambil menunggu bubaran bioskop, saya membaca. Tetapi karena IQ saya jongkok, karena jarang makan makanan bergizi, kurang protein, badan kurus kering, saya harus membaca 10 kali baru mengerti. Jadi begitu berat ketika itu susahnya belajar.

Apa yang membuat Anda bertahan dalam keadaan seperti itu?

Saya teringat, kalau bukan saya siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi. Saya harus berubah, paling tidak mengurangi penderitaan kurang makan tadi, paling tidak nggak jatuh miskin lagi, dan setidaknya bisa membantu adik-adik yang masih sekolah.

Kemudian bagaimana kehidupan Anda selepas SMA?

Setelah lulus SMA dan melepas pekerjaan sebagai tukang parkir, saya ingin melanjutkan ke UI (Universitas Indonesia), karena saya yang berpredikat sebagai juara 2 di SMAN 13, pantasnya rasanya jika saya meneruskan kuliah di UI.

Tetapi saat itu tidak ada beasiswa, dan saya harus menjadi kuli di Pelabuhan Tanjung Priok sambil sekolah. Kalau malam hari jadi kuli bongkar muat, siang hari saya mencari tambahan ilmu pengetahuan dan ikut tes di mana-mana.

Apa hasil dari sekian tes yang Anda ikuti itu?

Banyak tes lulus, selama 6 bulan saya bekerja sebagai metrol handling buka peti di pabrik mobil. Pada suatu hari, saya sedang bergelantungan di bus kota Jalan Thamrin di depan Gedung Bank Dagang Negara (BDN) yang sekarang menjadi kantor BSM. Saya berdoa supaya diberikan kesempatan untuk bekerja di gedung yang pada saat itu tergolong mewah. Ya Allah Ya Rob, bila engkau memberikan kesempatan Saya bekerja di gedung yang mewah ini, maka Saya akan melipatgandakan kesyukuranku kepada-Mu.

Lalu dua minggu kemudian, saya melihat iklan lowongan kerja di koran dan melamar, ternyata kantor dari perusahaan itu ada di gedung BDN. Jadi saat itu ada hubungan yang linear antara ketekunan, kesabaran dan doa.

Itu terwujud, saya bisa bekerja dengan sungguh-sungguh mulai dari bawah seperti dari mulai trainer, junior, semi senior, senior, asisten supervisor, supervisor, asisten manajer, manajer, asisten vice president, vice president, dan direktur.

Setelah bekerja sebagai pekerja kantoran, pola hidup seperti apa yang Anda terapkan?

Semua dijalankan dengan penuh semangat karena tidak mau jatuh miskin lagi dan bisa bantu saudara-saudara saya yang masih miskin, masih sekolah.

Dengan tekad itu, pangkat saya makin cepat naik, gaji naik makin tinggi dan bonus selalu unggul dibanding dengan yang lain. Karena kerja di kantor konsultan dan auditor, dibayar berdasarkan prestasi, dan makin tinggi prestasi makin besar bonus dan cepat naik pangkat.

Saat itu saya berpikir bagaimana pola hidup yang saya bisa pertahankan dengan sangat sederhana dan gaji yang meningkat, saya bisa menabung. Makanya dalam kiat saya sejak awal yang merupakan kiat dari Bung Hatta, rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Maka saya wujudkan dengan menabung, untuk mengubah nasib menjadi pengusaha. Saya ingin tangan saya di atas, ingin memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bekerja dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan ikut berbagi dengan rezeki saya.

Bagaimana ceritanya hingga Anda bisa dipercaya menjabat sebagai Menteri BUMN dan saat ini menjadi Komisaris Utama Pertamina?

Saya memang tergolong sukses menatap karir menjadi seorang profesional, bahkan ketika menjadi direktur keuangan dari perusahaan swasta, saya dipercayakan menjadi seorang menteri. Ketika sebagai profesional, pada tahun 2000-2004 saya digaji Rp 6 miliar per tahun, pajak Rp 2,1 miliar per tahun.

Saving gap semakin besar dan usaha saya juga semakin besar, lapangan pekerjaan yang bisa saya sediakan semakin besar, saya merasa ini tidak boleh berhenti. Maka hingga saat ini, selain mengabdi kepada masyarakat karena sekarang menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, yang memasok energi untuk negeri.

Jadi saya merasa Allah memberikan kemudahan networking yang terus meningkat, karir tidak pernah susah, secara teknikal menguasai bidang saya, men-sharing waktu sebagai schooler untuk menguji S3 untuk orasi di kampus-kampus, menjadi wali amanah di IPB dan kampus lain. Saya juga aktif menjadi penggiat sosial termasuk sebagai Presiden ICMI, ESQ Leadership Center dan lain-lain ini yang saya perankan saat ini dan menjadi ayah dalam keluarga.

Terakhir, apa yang ingin Anda bagi kepada generasi muda?

Saya juga lulusan Fakultas Ekonomi UI, kemudian mendapat gelar doktor cumlaude dari UGM pada 2008. Saya ingin menunjukkan kepada generasi muda bahwa belajar itu tidak pernah selesai. Ketika baru dua minggu sebagai menteri, saya cuma bergelar S2, saya langsung mendaftar ke S3 program UGM dan lulus dalam 2 tahun dengan status cumlaude. Ketika ilmu itu ada, saya sharing kemana-mana. Karena orang yang wafat akan meninggalkan amal shaleh, anak yang shaleh dan ilmu yang bermanfaat.

(Dny/Ndw)

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya