Liputan6.com, Beirut Peperangan selalu membawa korban sampingan yang lebih dahsyat daripada sekedar pihak-pihak yang saling menembak dan membunuh satu sama lain. Sejarah menceritakan kepada kita bahwa kaum yang paling rentan malah terlindas paling parah, termasuk kaum perempuan.
Pemerkosaan telah menjadi senjata peperangan bahkan di tengah-tengah krisis Rwanda beberapa tahun yang lalu. Sewaktu pasukan Rusia memasuki Berlin di akhir Perang Dunia II, sekitar dua juta wanita Jerman menjadi korban pemerkosaan massal.
Advertisement
Dalam krisis-krisis terkini, lagi-lagi wanita dikorbankan. Para perempuan Suriah di kamp-kamp pengungsian bahkan dijual melalui suatu laman Facebook, sebagaimana dilansir dari ANSAmed, 23 Mei 2014.
Hanya butuh beberapa ribu euro untuk membeli wanita-wanita Suriah, termasuk bocah-bocah perempuan, yang mengungsi dari negeri mereka dan hidup di kamp-kamp pengungsi, demikian dikabarkan oleh kelompok-kelompok hak azasi manusia (HAM) Arab.
Kelompok-kelompok HAM ini memberikan peringatan sehubungan dengan para wanita yang dijual melalui Facebook.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Tahun lalu, terbit beberapa laporan yang menengarai adanya para perempuan Suriah yang hidup di kamp-kamp pengungsian di Yordania, Turki, dan Iran yang telah dijual kepada pria-pria dari negara-negara Arab, terutama dari kawasan Teluk. Kelompok-kelompok HAM juga menyingkapkan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang korbannya termasuk bocah-bocah berusia 12 atau 13 tahun.
Laman Facebook yang mengiklankan pengungsi Suriah yang bisa dibeli sebagai istri itu ditutup hari Kamis lalu setelah ratusan pegiat dan pengacara HAM memprotesnya. Nyatanya, laman itu memiliki ribuan pengikut di antara tanggal 17 hingga 21 Mei, termasuk para calon klien yang tertarik dengan wanita-wanita yang diiklankan. Beberapa posting memasang gambar-gambar para wanita yang “sedang mencari suami” dengan penjelasan singkat mengenai kemurnian mereka dan kemampuannya melakukan tugas-tugas rumah tangga.
Tapi untuk mendalami lebih lanjut tentang “barang” yang sedang dijual, pria-pria yang tertarik harus mengirim surel untuk memulai tawar menawar. Menurut organisasi nir-pemerintah (NGO) Kafa, yang telah berkali-kali menyuarakan fenomena ini, kebanyakan para klien berasal dari Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan juga Tunisia, Moroko, Mesir, Aljazair, Yaman dan Bahrain.
Salah satu kalimat dalam pengumuman ini berbunyi “gadis-gadis pengungsi dari segala usia dan kepercayaan” untuk memenuhi semua permintaan dari kaum Sunni, Syiah, dan Kristen.
Tertulis juga dalam laman Facebook itu demikian, “Anda bisa menikah secara sah ataupun secara rahasia.”
Menurut kelompok pegiat Suriah “Pengungsi, bukan budak” yang ada di Yordania, di mana ratusan ribu pengungsi Suriah hidup dalam kamp-kamp yang membludak di utara dan pusat-pusat kota, surat kabar setempat menerbitkan iklan-iklan pelacuran wanita Suriah dan Arab.
Fenomena ini juga merebak luas di Lebanon, yang tidak memiliki kamp-kamp pengungsi resmi walaupun ada lebih dari sejuta pengungsi Suriah di sana. Sesungguhnya tidak ada kelompok-kelompok kriminal di belakang semua ini: seringkali keluarga-keluarga korbanlah yang terlibat atau terkadang-kadan mereka “dianjurkan” oleh LSM-LSM setempat yang membagikan bantuan kemanusiaan dalam kamp-kamp dan memiliki jalur kepada mereka yang paling memprihatinkan.
Menurut laporan-laporan dari wilayah Kurdistan di Iraq dan Yordania, wanita-wanita juga dijual setelah tawar-menawar antara orangtua dengan calon pasangan. Perantaranya, yang seringkali seorang wanita, diupah setidaknya 50 euro untuk mempertemukan orangtua dan calon pasangan itu. Dan jika tercapai kesepakatan para pihak, ongkosnya bisa mencapai 3.000 euro, sekitar 10% dari nilai kesepakatan. (Ein)