Liputan6.com, Jakarta Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji menyatakan ingin PLN seperti zaman pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu era 1994 sampai 1997. Mengapa demikian?
Menurut Nur Pamudji, saat itu pemerintah menerapkan tarif progresif yang naik turun setiap tiga bulan sekali. Dengan sistem tarif tersebut, PLN memiliki kinerja keuangan yang cemerlang sehingga menjadi perusahaan BUMN dengan keuntungan terbesar meski tak disubsidi.
"Waktu itu saya masih ingat keuntungan PLN terbesar diantara semua BUMN, rating kita BB- (peringkat utang), subsidi nol, tarif lisrtrik tidak dibicarakan DPR, investasi bisa dipenuhi," ungkapnya seperti ditulis Kamis (29/5/2014).
Advertisement
Meski tarif listrik berubah-ubah, lanjut dia, masyarakat bisa menerima, tidak ada yang mempermasalahkan. Ekonomi Indonesia terus tumbuh, bahkan mampu tumbuh sampai 6%.
"Saya ingin seperti zaman 1994 -1997, tarifnya itu floating, setiap 3 bulan tarif naik turun sendiri," kata Nur Pamudji.
Namun masa-masa indah PLN tersebut berakhir, saat 1998 kurs dolar melambung tinggi dan krisis ekonomi menyerang Indonesia sehingga pelanggan keberatan atas tarif listrik yang mengikuti kurs dolar tersebut.
Menurut Nur, sejak itu tarif listrik yang berubah-ubah seperti harga pertamax tersebut dihentikan dan dimulai lagi 1 Mei 2014 lalu.
Tarif progresif ini diterapkan pada empat golongan pelangga pelanggan nonsubsidi (rumah tangga) besar R-3 daya 6.600 va ke atas, bisnis menengah B-2 daya 6.000 VA sampai 200 kVA, bisnis besar B-3 daya di atas 200 kVA dan kantor pemerintahan sedang P-1 daya 6.600 va sampai 200 kVA.
"Tarif itu baru diterapkan lagi Mei 2014," pungkasnya. (Pew/Ndw)