Terkendala Bahan Baku, Perajin Batik Bomba Stop Produksi

Untuk mendatangkan bahan baku batik Bomba dibutuhkan waktu hingga dua minggu. Tak hanya itu, harganya juga mahal sekali.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 30 Mei 2014, 09:07 WIB
(Fotografer: M Taufan SP Bustan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Palu - Reporter: M Taufan SP Bustan

Kerajinan batik di tanah air terus berkembang, sehingga hampir setiap daerah pasti memiliki batik yang khas. Seperti halnya di Palu, Sulawesi Tengah. Di daerah itu, terdapat batik khas yang diberi nama batik Bomba.

Kata Bomba sendiri, berarti keterbukaan dan kebersamaan. Itu sebabnya, tidak heran jika masyarakat di Palu terbuka kepada siapa saja yang ingin sekadar berkunjung ke Palu.

Salah satu perajin batik Bomba, Udin mengaku, batik Bomba mulai berkembang pesat di Palu, sejak awal 2008 silam. Saat itu, lanjut dia, banyak perajin lokal yang bermunculan dengan sejumlah peralatan membatik yang canggih atas bantuan dari pemerintah.

Namun, terus berjalannya waktu perajin lokal yang tadinya banyak, mulai berkurang. Bahkan, saat ini ada banyak perajin yang berhenti total untuk memproduksi batik Bomba.

"Ada banyak alasan mengapa sejumlah perajin batik Bomba di Palu berhenti. Namun alasan paling mendasar, karena sulitnya mendapatkan bahan baku," jelas Udin kepada Liputan6.com saat ditemui di sentra pembuatan batik Bomba yang dipimpinnya di Jalan Trans Sulawesi, Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kamis (29/5/2014).

Menurut dia, untuk mendatangkan bahan baku batik Bomba dibutuhkan waktu hingga dua minggu lamanya dan harus mengeluarkan biaya yang cukup banyak, karena sumber utama pendapatan bahan baku hanya berada di Pulau Jawa.

"Dulu saya sempat mengusul ke pemerintah agar dibentuk koperasi penyediaan bahan baku di Palu, agar sejumlah perajin bisa membeli bahan dengan murah di koperasi saja kalau sudah terbentuk. Tapi itu tidak ditanggapi. Makanya banyak perajin yang memilih berhenti karena sulitnya mendapatkan bahan baku, sekarang tinggal beberapa pengrajin saja tersisa," tegas Udin.

Ternyata, bukan hanya bahan baku saja yang menyurutkan semangat sejumlah pengrajin untuk terus memproduksi batik Bomba, melainkan juga dikarenakan alat untuk mencetak kain terbilang masih sangat tradisional. Dengan hanya mengandalkan alat cetak yang terbuat dari kayu, sehingga hasilnya pun kurang maksimal.

"Dulu kami pernah dibantu dengan alat cetak yang terbuat dari tembaga dengan motif ciptaan kami sendiri. Tapi entah kenapa bantuan tersebut ditarik kembali oleh pemerintah. Padahal, alat cetak itu bukan semata untuk keperluan saya pribadi, melainkan sebagai bahan belajar buat ibu-ibu yang bergabung di kelompok saya," ungkap Udin.

Saat ini, hasil produksi batik Bomba Udin, tidak banyak dipasarkan, karena kualitasnya kurang baik karena faktor alat cetak yang kurang memadai. "Cukup di rumah saja, kalau ada yang mau pesan baru dibuatkan," ucapnya.

Meskipun demikian, Udin mengaku tetap semangat untuk membuat desain-desain motif batik yang secara khusus mengaplikasikan kekhasan daerah.

"Untuk batik saya, sudah ada 39 motif. Beberapa di antaranya sudah ada terjual juga, seperti motif Tadulako, Taiganja, Cinde, dan Sambulugana. Ya, saya berharap pemerintah bisa kembali memperhatikan kami, agar produksi batik khususnya batik Bomba di Palu bisa terus terproduksi dan bisa berkembang kembali," pungkasnya.

Diketahui, batik Bomba tidak hanya terkenal di Palu, melainkan juga sudah cukup terkenal di Indonesia, bahkan penguna batik khas daerah Palu ini tidak hanya digemari oleh orang tua saja, melainkan juga sudah digemari oleh kaula muda.

Itu terbukti dengan sering dilakukannya iven peragaan batik Bomba di kalangan model yang notabenanya anak muda sebagai peserta oleh pemerintah terkait di Palu hampir tiap tahunnya.

Tidak hanya itu, batik Bomba juga sudah merupakan batik wajib yang harus digunakan seluruh pegawai di pemerintahan yang ada di Palu, jika hari Kamis tiba.

Pemasaran batik Bomba sendiri juga sudah cukup mengansional, itu terbukti dengan banyaknya beberapa daerah di tanah air yang memesan batik Bomba untuk dipasarkan di daerah mereka, seperti halnya dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Pulau Kalimantan, dan Pulau Jawa.

Meskipun demikian, keberlangsungan batik yang merupakan primadona Palu ini bisa saja punah dari pandangan masyarakat, karena tinggal sedikitnya pengrajin yang eksis tetap memproduksi meskipun hanya mengandalkan bahan baku dan peralatan seadanya.

Maka dari itu, peran penting dari pemerintah setempat sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan perkembangan batik Bomba ini. (M Taufan SP Bustan/Ndw)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya