Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana merubah dimensi lubang pengisian bensin (nozzle) pada mobil murah ramah lingkungan atau low cost green car (LCGC). Hal ini dilakukan agar kendaraan tersebut tidak lagi mengkonsumsi bahan bakar bersubsidi.
Namun Komisaris PT Suzuki Indomobil Motor Subronto Laras menilai rencana ini akan merepotkan produsen LCGC. Pasalnya produksi kendaraan ini bukan hanya ditujukan untuk pasar domestik, tetapi juga pasar ekspor.
"Perubahan nozzle ini bikin susah, nanti kalau mau dijual keluar (negeri) bagaimana. Masa mau jalan dari satu kota ke kota lain harus ganti nozzle, nanti repot," ujar dia di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Senin (2/6/2014).
Subronto mengatakan saat ini mobil LCGC telah mengadopsi teknologi tinggi, sehingga akan lebih baik jika pemiliknya menggunakan bahan bakar dengan oktan 92 ke atas.
"Sekarang mesinnya kan sudah high tech. Kalau mereka pakai (bensin) yang murah sih bisa saja tapi akan lebih boros. Tapi kan aturannya kan mesin itu harus pakai pertamax," kata dia.
Dia juga mengungkapkan, sebenarnya cara mudah untuk menekan penggunaan BBM subsidi yaitu dengan menghapuskan BBM bersubsidi tersebut.
Advertisement
"Kalau ada bensin murah, ya mereka pasti pilih yang murah. Mestinya kita seperti di India, meskipun negara susah tapi subsidi untuk bensinnya dicabut," tegas dia.
Meski demikian, Subronto mengungkapkan proyek produksi LCGC dibawah Kementerian Perindustrian ini dinilai proyek yang berhasil meskipun masalah konsumsi BBM bersubsidi tersebut masih diperdebatkan.
Menurutnya, proyek ini banyak membuka lapangan kerja dan mampu meningkatkan ekspor otomotif Indonesia. Suzuki sendiri menargetkan tahun ini mampu memproduksi sekitar 35 ribu unit LCGC.
"Produksi kita saat ini lagi pas-pasan, karena masih menunggu proyek pabrik baru (di kawasan Delta Mas, Karawang) biar bisa tambah kapasitas. Tapi kalau kita dari pelaku industri inginnya supaya industri ini terus berkembang, bisa produksi lebih banyak dan buka lapang kerja," tandas dia. (Dny/Nrm)