Liputan6.com, Jakarta - Direktur Ekskutif Political Communication (PolcoMM) Heri Budianto menilai, perang politik yang menggunakan strategi berbasis fitnah dan pembunuhan karakter tidak sehat. Hal itu diungkapkan Heri merujuk pada surat palsu penangguhan pemeriksaan Joko Widodo kepada Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Bus Transjakarta.
Menurut Heri, jika terbukti surat palsu itu dibuat oleh EJS, yang merupakan kader Partai Gerindra, berarti perbuatan tersebut berbasis fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan karakter.
"Jika benar, ini cara politik berbasis fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan karakter. Cara ini lebih dari kampanye hitam, yang membuat demokrasi kita menjadi tak sehat," kata Heri Budianto di Jakarta, Selasa (3/6/2014).
Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Mercu Buana itu, harusnya pasangan capres-cawapres dan tim suksesnya tidak melakukan cara-cara tidak sehat seperti itu. Karena selain akan berdampak buruk bagi demokrasi yang sedang dikembangkan, cara fitnah dalam perang politik justru akan berbalik arah kepada yang melakukan fitnah dan politik kotor.
"Dampaknya malah bukan pada calon yang diserang, karena ketika terbukti mana fitnah dan mana fakta, maka publik juga akan melihatnya," ujar dia.
Untuk itu, Heri menyarankan agar masing-masing capres-cawapres lebih menggunakan cara-cara sehat, elegan, bukan saling menjatuhkan. Apalagi dengan mengkonstruksikan hal-hal yang tidak benar sehingga mengarah ke fitnah dan pembunuhan karakter.
Sebelumnya, beredar surat yang mengatasnamakan dan ditandatangani Jokowi. Surat itu berisi permintaan Jokowi kepada Jaksa Agung agar menangguhkan pemeriksaannya dalam kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta.
Namun karena Jokowi mengatakan tak pernah mengirim surat ke Jaksa Agung, tim kuasa hukumnya kemudian melaporkan dugaan surat palsu itu ke Bareskrim Mabes Polri
Setelah diselidiki, diduga surat itu dibuat oleh EJS, anggota organisasi Tunas Indonesia Raya (Tidar) --sayap Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)--pengusung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa sebagai capres-cawapres pada Pilpres 9 Juli mendatang.
Ketua Tunas Indonesia Raya (TIDAR) DKI Jakarta Yudha Permana membantah EJS sebagai pembuat surat palsu tersebut.
Tidak hanya memproduksi, surat palsu itu juga disebarkan melalui media sosial. Atas tindakannya ini, EJS dilaporkan dengan pasal berlapis, yakni Pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP tentang tindak pidana pemalsuan surat, Pasal 310 junto Pasal 311 KUHP tentang tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dengan media sosial, media cetak dan/atau elektronik, dan/atau Pasal 27 junto Pasal 36 junto Pasal 45 junto Pasal 45 junto Pasal 54 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Mvi)
Advertisement