Akhir Ulah Sang Babinsa Inisiator

Kedatangan Koptu Rusfandi ke rumah warga bertujuan mendata preferensi atau keinginan warga soal capres mana yang bakal dipilih.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Jun 2014, 00:38 WIB
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (kiri)

Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Taufiqurrohman, Ahmad Romadoni, Rizki Gunawan

Beberapa hari belakangan ini Bintara Pembina Desa atau Babinsa TNI AD disebut-sebut mendatangi rumah warga di Kelurahan Cideng, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Mereka mengarahkan warga untuk memilih pasangan capres tertentu pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 9 Juli mendatang.

Tindakan Babinsa itu disebut-sebut atas perintah petinggi TNI. Kabar ini pun menjadi pertanyaan sejumlah pihak. Saling tuduh pun tak terelakkan antara kubu pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Bahkan, bagi kubu Jokowi-JK menganggap masalah ini cukup serius. Kubu pasangan capres bernomor urut dua ini berhasil menemukan dugaan keterlibatan aksi Babinsa di Jakarta Pusat, Jawa Barat, dan Yogyakarta. Mereka pun melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Bagi kubu Prabowo-Hatta membantah telah mengerahkan Babinsa dan meyakini netralitas TNI. Mereka menganggap pengerahan Babinsa sebagai bagian dari kampanye hitam dan meminta pendukungnya agar tidak terprovokasi. Mereka bahkan menuding ada kepanikan dari kubu Jokowi-JK, sehingga memunculkan kampanye hitam.

Inisiatif Babinsa

Geger Babinsa akhirnya terjawab. Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigadir Jenderal TNI Andika Perkasa mengakui ada keterlibatan Babinsa. Dari hasil penyelidikan internal TNI, anggota Babinsa Koptu Rusfandi tidak bermaksud mengarahkan warga memilih capres tertentu di Cideng.

Kedatangan Koptu Rusfandi ke rumah warga itu diakuinya bertujuan untuk mendata preferensi atau keinginan warga soal capres mana yang bakal dipilih pada Pilpres 9 Juli mendatang.

Menurut Andika, yang terjadi adalah ketika warga bernama AT tidak langsung memberikan jawaban saat ditanya tentang preferensinya pada Pilpres 2014, Koptu Rusfandi berusaha mendapatkan konfirmasi dengan cara menunjuk pada gambar partai capres.

"Hal inilah yang kemudian menimbulkan kesan seolah-olah Koptu Rusfandi `mengarahkan` saudara AT untuk memilih salah satu calon presiden," urai Andika dalam keterangan tertulis TNI AD di laman Tniad.mil.id, Minggu 8 Juni 2014.

Namun hal itu tetap saja tak dibenarkan. Sebab, pimpinan TNI AD tidak pernah memberikan perintah kepada jajarannya untuk melakukan pendataan preferensi warga terkait Pilpres 2014.

"Perintah ini juga tidak pernah diberikan oleh Pangdam Jaya berturut-turut sampai dengan Danramil-nya, Kapten Infanteri Saliman," kata Andika.

Tindakan Koptu Rusfandi tersebut, kata Andika, merupakan inisiatif sendiri dan lebih disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang tugas-tugas Babinsa, lantaran baru bertugas di Satuan Teritorial Koramil Gambir.

"Dalam hal ini Koptu Rusfandi memang baru bertugas sekitar 1 bulan di Satuan Teritorial Koramil Gambir setelah pindah tugas dari Satuan Tempur Batalyon Kavaleri 6 di Kodam 1 bukit Barisan, Medan," tandas Andika.

Sanksi Administratif

Moeldoko selaku Panglima TNI mengaku telah bekerja sama dengan Bawaslu untuk membuktikan pelanggaran tersebut. Namun soal sanksi, TNI memiliki wewenang untuk menindaknya dari sisi etika kedisiplinan.

"Dalam konteks politik penegakan disiplin, Bawaslu yang punya otoritas, vonis sah (salah) atau tidak. Untuk penegakan disiplin, Kepala Staf AD punya wewenang. Ini telah dilaksanakan tugas komunikasi sosial rutin, inilah yang perlu dibenahi agar tak terjadi lagi," tandas Moeldoko di Base Ops Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Minggu 8 Juni 2014.

Terkait pemberian sanksi, TNI pun telah menjatuhkan kepada Koptu Rusfandi. Ia dijatuhi hukuman penahanan selama 21 hari dan sanksi administratif berupa penundaan pangkat selama 3 periode (3 x 6 bulan).

"Koptu Rusfandi bersalah melakukan pelanggaran disiplin perbuatan tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan profesional dan tidak memahami tugas serta kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit," ujar Andika dalam keterangan tertulis TNI AD di situs Tniad.mil.id, Minggu (8/6/2014).

Sementara Kapten Infanteri Saliman dikenakan hukuman teguran dan sanksi administratif berupa penundaan pangkat selama 1 periode (1x 6 bulan).

Danramil Gambir itu dinilai tidak melaksanakan tugasnya secara profesional dan tidak memahami tugas kewajibannya lantaran menugaskan Koptu Rusfandi untuk melakukan tugas Babinsa tanpa diberikan pembekalan kemampuan teritorial yang memadai terlebih dahulu.

"Selain itu Kapten Saliman juga tidak berusaha menegur dan menghentikan tindakan Koptu Rusfandi melakukan pendataan preferensi warga di Pemilihan Presiden 2014," jelas Andika.

Netralitas

Untuk menunjukkan sikap netralitas TNI kepada masyarakat, Moledoko pun dengan tegas meminta masyarakat untuk mengabadikan anggota Babinsa melalui foto, jika terbukti melakukan keterlibatan dalam kepentingan politik tertentu.

"Kalau ada Babinsa yang lakukan penyimpangan ambil langkah baik. Foto dia, kan semuanya sekarang punya foto atau ditahan dulu. Foto dan saksi, segera laporkan ke atasannya," ujar Moeldoko di Base Ops Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Minggu 8 Juni 2014.

Namun Moeldoko juga mengimbau kepada Babinsa, agar tetap maksimal dalam bekerja dan jangan sampai terganggu dengan masalah tersebut. Siapa pun anggotanya, termasuk Babinsa yang melanggar akan dikenakan sanksi, baik hukum maupun administratif.

Sementara terkait adanya dugaan keterlibatan Babinsa di Jawa Barat, Kodam III Siliwangi membantah isu adanya Babinsa yang mengarahkan warga untuk memilih salah satu pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 9 Juli nanti.

"Itu tidak benar tentang adanya Babinsa yang door to door di Cimanintin (Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat)," kata Kepala Penerangan Kodam III/Siliwangi, Kolonel Inf M Affandi, Bandung, Jawa Barat, Minggu 8 Juni 2014.

Pengamat militer Bob Sugeng Hadiwinata menilai, secara institusi netralitas TNI masih dapat dipercaya. Ia juga mengamini adanya inisiatif dari tindakan Babinsa di Jakarta Pusat itu.

"Saya kira tidak secara institusional, tapi individu di daerah mungkin saja terjadi. Tapi secara kelembagaan tidak. Kalau pun individu saya rasa bukan atas perintah dari atasan," ujar Bob kepada Liputan6.com, Minggu 8 Juni 2014 malam.

Menurut Bob, terlalu berisiko seorang atasan memberikan instruksi kepada bawahan untuk keterlibatan dalam kepentingan politik. Maka itu, ia menegaskan tindakan Babinsa di Jakarta itu kemungkinan besar atas inisiatif sendiri.

"Saya kira sekarang pers sudah sangat terbuka, ada Bawaslu juga. Saya kira untuk seorang atasan memberikan instruksinya terlalu besar risikonya. Saya kira mungkin itu terjadi atas inisiatif individu," ujar pengamat asal Universitas Parahyangan, Bandung, itu.

Kendati, soal inisiatif preferensi untuk melihat sejauh mana kecenderungan masyarakat memilih pasangan capres tertentu, Bob melihat kurang relevan. Sebab, preferensi politik ini pada umumnya dilakukan lembaga survei, bukan kalangan TNI.

"Betul, untuk survei saya kira tadinya dimaksudkan untuk melihat situasi masyarakat, sejauh mana tingkat kemungkinan akan terjadi anarki. Boleh sajalah. Tapi kalau soal sensus ini saya kira harus dikonfirmasi, riset apa?" ujar Bob mempertanyakan.

Terlepas dari itu semua, soal preferensi ini tentunya membutuhkan energi, waktu, dan juga biaya yang tidak sedikit, layaknya petugas sensus, mendata warga dari pintu ke pintu. Terlebih, kegiatan ini diduga dilakukan di beberapa wilayah, bukan hanya di Jakarta.

Tanpa komando dari sang jenderal, prajurit tidak akan bergerak. Itulah budaya yang sampai saat ini masih melekat di tubuh TNI. Dan mungkin potret budaya disiplin itu bisa dicontohkan terhadap tindakan Koptu Rusfandi dan atasannya, Kapten Infanteri Saliman.

Lalu, benarkah itu atas inisiatif pribadi Babinsa tersebut? Dan mengapa preferensi ini malah soal preferensi pilihan pasangan capres-cawapres tertentu, bukan terkait pengamanan Pemilu sebagaimana tugas TNI? (Ans)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya