Abu Syauqi, dari Jualan Kambing Kini Melejit Dengan Rumah Zakat

"Menjadi sukses adalah hak setiap orang, baik yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin," kata Pendiri Rumah Zakat Abu Syauqi.

oleh Septian Deny diperbarui 10 Jun 2014, 14:10 WIB
Rumah zakat dan abu syauqi

Liputan6.com, Jakarta - Hidup sebagai orang yang serba kecukupan kadang membuat seseorang lupa akan orang lain yang hidupnya kekurangan. Namun, hal ini tidak dilakukan Abu Syauqi, pendiri dari salah satu lembaga sosial di Indonesia yaitu Rumah Zakat.

Dalam sebuah kesempatan, pria asal Bandung ini bercerita awal mula dirinya membangun Rumah Zakat bersama teman-temannya dengan sumbangan dana yang terbatas. Keinginannya untuk mendirikan sebuah lembaga sosial yang bermanfaat bagi masyarakat banyak berasal saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada periode 1998-1999.

Ketika tengah berjalan di wilayah Pademangan, Jawa Barat, Pria kelahiran 11 Februari 1968 itu tersentuh melihat banyaknya masyarakat miskin di daerah tersebut. "Saya keliling di kampung itu, banyak yang tidak bisa makan, menderita, kehilangan pekerjaan, lalu saya menangis," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti ditulis Senin (9/6/2014).

Melihat kondisi tersebut, Abu teringat apa yang diajarkan oleh kedua orangnya soal peduli kepada orang lain. Ayahnya pernah berkata, jika dirinya mau mengurus masyarakat yang kurang mampu, maka Tuhan yang akan mengurus dirinya.

"Awalnya saya tidak mengerti ungkapan ayah saya itu. Tetapi setelah itu, saya bertekad mendirikan lembaga sosial. Saya kumpulkan teman-teman saya, teman-teman bisnis yang peduli, saya kumpulkan uang untuk mem-backup anak-anak yang harus meneruskan sekolah," lanjutnya.

 


Tinggalkan Bisnis


Saat memutuskan untuk terjun secara total di dunia sosial ini, Abu yang kala itu berumur 28 tahun, menemui sebuah pilihan yang sulit, sebuah pilihan yang menurutnya harus diambil jika ingin secara tulus membantu orang lain tanpa imbalan sepeser pun. Pilihan tersebut yaitu dia harus meninggalkan semua bisnis yang selama ini membuat dia dan keluarganya hidup berkecukupan.

"Dari situ saya tinggalkan bisnis saya dan siap yang tidak punya apa-apa untuk membela mereka. Padahal secara ekonomi saya cukup mapan. Saya bisnis transportasi, punya tujuh angkot, sebuah bis, jualan kambing, bisnis lain-lain. Tapi waktu itu komitmen saya untuk memulai berbuat untuk orang lain maka saya tinggalkan," kata dia.

Selain harus berupaya meyakinkan dirinya sendiri soal pilihannya tersebut, Abu mengaku juga harus menghadapi tentangan dari orang-orang terdekatnya saat memutuskan untu meninggalkan bisnis yang telah dia bangun dengan susah payah. Namun dukungan penuh dari sang istri lah yang membuatnya tidak ragu akan pilihannya tersebut. Kemudian mulailah dia membentuk lembaga sosial bernama Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ) pada 1998 dan berganti nama menjadi Rumah Zakat pada
2003.

"Waktu saya tinggalkan bisnis saya banyak pertentangan. Tetapi yang paling penting adalah istri, yaitu ketika istri mendukung dan anak-anak setuju. Setelah itu rezeki saya berlipat ratusan bahkan ribuan kali, saya bisa punya 2.000 karyawan," ungkapnya.

 


Sulitnya Menolong


Selama mengelola Rumah Zakat, dirinya banyak belajar bagaimana cara yang tepat untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. Hal ini agar bantuan yang berikan tidak malah membuat masyarakat tersebut menjadi bergantung.

Dia bercerita, memiliki niat baik untuk membantu pun ternyata tidak mudah, bahkan banyak pihak yang menentang apa yang menjadi niat baiknya tersebut. Seperti saat dirinya ingin mengajak anak-anak jalanan untuk kembali bersekolah dan tidak lagi meminta-minta. Niat baiknya itu malah mendapatkan penolakan dari orang tua sang anak.

"Permasalahan anak jalan itu kompleks. Setelah saya pelajari, ternyata itu bukan soal kemiskinan saja. Ketika kami tolong mereka (anak jalanan) untuk kami sekolahkan yang marah itu ibunya, karena mereka merupakan penghasilan bagi ibunya. Jadi tidak mudah. Seharusnya pemerintah lebih bisa (memaksa anak-anak jalanan kembali bersekolah) karena pemerintah punya kekuasaan, mengambil mereka, kemudian dibuat hukuman, kemudian diberdayakan," papar dia.


Belajar dari Singapura


Dalam membangun Rumah Zakat, Abu juga mengaku tidak mau main-main.  Dia ingin menciptakan sebuah lembaga sosial dengan kinerja seperti sebuah perusahaan. Untuk membuktikan keseriusannya akan tersebut, Abu bahkan sampai melakukan studi banding ke Singapura untuk melihat bagaimana perusahaan-perusahaan maju di negara tersebut dalam bekerja dan mengelola keuangannya.

"Saya bawa teman-teman ke Singapore Airlines dan perusahaan-perusahaan lain di Singapura. Jadi studi banding bukan ke lembaga sosial tetapi ke perusahaan. Makanya Rumah Zakat itu seperti perusahaan, yang absensinya saja online. Kalau terlambat satu detik untuk tingkat pegawai maka bisa dipotong hingga Rp 150 ribu, direksi bisa Rp 1 juta. Jadi orang tidak berani terlambat, saya terapkan umumnya perusahaan," jelas dia.

Selain menerapkan kinerja, sistem teknologi dan informasi yang diterapkan di Rumah Zakat pun dia terapkan seperti didalam sebuah perusahaan. Dengan dukungan IT yang canggih tersebut, akan pengelolaan uang  menjadi lebih transparan sehingga membuat donatur yakin bahwa uang yang disumbangkannya tersebut disalurkan dengan cara yang bisa dipertanggungjawabkan.

"Dengan sistem IT yang canggih, per detik uang masuk dan uang keluar bisa diketahui, donatur juga bisa lihat uang yang disumbangkan digunakan untuk apa. Dari situ kepercayaan bisa tumbuh karena ada pada report," katanya.

Setelah 8 tahun membesarkan Rumah Zakat, pada 2009, Abu memutuskan untuk meninggalkan lembaga sosial tersebut. Hal ini dia lakukan agar generasi muda dapat menggantikan perannya dalam mengembangkan Rumah Zakat. "Karena kalau saya terus pegang, maka tidak akan berkembang. Gagasan dari saya sudah habis, makanya institusi ini besar karena dipegang oleh anak-anak muda. Saya harus memberikan faedah kepada banyak orang," ujarnya dia.


Kembali Jualan Kambing


Setelah tidak lagi ikut campur tangan dalam pengelolaan Rumah Zakat, Abu kembali kepada apa yang menjadi keahliannya, yaitu memulai bisnisnya kembali. Saat ini dia mengelola beberapa bisnis yang bergerak pada sektor peternakan, konstruksi, properti dan IT, termasuk kembali pada bisnis yang ditekuninya sejak muda, yaitu berjualan kambing. Bahkan dia mengakui, dari bisnis kambing saja, dirinya bisa membeli mobil mewah.

"Setelah kelola dengan baik, saya bisa membeli mobil mewah dari jualan kambing saja. Saya juga bisa membelikan anak-anak saya mobil dengan bisnis yang kata orang tidak terhormat," kata dia.

Dan dari semua bisnisnya tersebut, Abu mampu membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal itu lah yang menjadi alasanya dirinya lebih memilih berbisnis dan menolak untuk menjadi pekerja sejak muda, meskipun dirinya tidak lulus kuliah. "Bisnis saya berkembang cukup besar, orang yang bekerja dengan saya juga banyak. Berbisnis Itu kan membuka lapangan pekerjaan, jadi sejauh mana kita bisa memberikan manfaat kepada orang lain," tegasnya.

Setelah menjadi orang yang sukses dengan berbagai macam bisnis yang digeluti, masih ada sebuah keinginan Abu masih menjadi cita-citanya sejak lama yaitu memiliki sebuah stasiun TV. Dengan memiliki stasiun TV sendiri, maka gagasan-gagasan positif yang dia miliki bisa disebarkan kepada masyarakat.

"TV ini bisa merusak secara massal, tetapi juga memperbaiki secara massal. Kita bisa mempengaruhi juta orang untuk sukses. Mudah-mudah tahun ini bisa segera diluncurkan," terangnya.


Sukses Hak Semua Orang


Ada satu pesan yang ingin dia berikan kepada generasi muda. Menurutnya menjadi sukses adalah hak setiap orang, baik yang berasal dari keluarga kaya maupun miskin. Dia mengatakan, banyak anak yang sebenarnya berasal dari keluarga kaya yang kemudian jatuh miskin, tetapi banyak juga anak orang miskin yang jadi orang kaya.

"Ini hanya masalah mindset untuk mau sukses atau tidak," tegasnya.

Dia juga menilai pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah tidak membentuk pola berpikir sukses, melainkan membentuk pola pikir untuk buruh, sehingga ketika seseorang tidak memiliki pekerjaan, maka orang tersebut akan jatuh miskin.

Jadi, Abu berharap kepada para generasi muda untuk semaksimal mungkin memanfaatkan peluang bisnis yang ada, meskipun tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi.

"Di Indonesia, jual apa saja bisa kaya. Ketika umur 24 tahun, saya hanya bekerja 2 minggu jelang Idul Adha yaitu dengan berjualan kambing. Tapi dari hasil jualan kambing tersebut, saya mampu mencukupi kebutuhan keluarga saya selama satu tahun ke depan," tandas Abu. (Dny/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya