Liputan6.com, Biak Numfor - Reki Reinold Mambobo tak kuasa lagi bertahan duduk ketika seluruh teman sekelas memintanya maju dan memimpin mereka menyanyi. Dengan senyum malu-malu dan langkah terseret, dia beranjak dari bangku, lalu berdiri agak miring. Berkali-kali dia ubah letak topi merah putihnya sampai pada posisi mendongak.
"Mau nyanyi lagu apa?" Tanya Nasruddin, salah satu peserta program SM-3T di Biak Numfor, Papua.
Reki meminta saran dari teman-temannya dengan berucap lirih," Apa?" Kelas pun ramai karena saling usul. Tak lama, mereka menyepakati sebuah lagu. "Disaksikan" oleh Presiden dan Wakil presiden yang mengapit Garuda Pancasila di atas papan tulis, Reki menyanyi dan seisi kelas turut serta.
Senyum cerah dan tawa gembira galibnya anak-anak sekolah ada juga di kelas 6 SDN Inpres Sawawi, Distrik Warsa. Berada di tengah-tengah mereka, kesenjangan pendidikan atau apa pun serasa tiada. Tapi, tunggu dulu, kesukacitaan itu ternyata tidak selalu. Boleh dikatakan baru hadir bersama kedatangan para sarjana pendidikan yang turut dalam program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
Advertisement
"Bapak dan Ibu guru yang baru, baik dan bagus, cara mengajarnya, tara biasa," kata Reki usai menyanyikan lagu "Di Sana Pulauku" itu.
Martin Inarkombu, murid kelas XI-A SMPN 1 Biak Timur, menyampaikan kesan yang sama." Enak, pelajaran olahraga sering di lapangan, tara catat-catat saja yang bikin bosan itu," ujar Martin.
Martinis Rumere, teman sebangku Martin mengangguk setuju." Iyo, betul itu!" tambahnya." Sekarang kami jadi tahu olahraga selain sepakbola," jelas Rumere.
Di distrik yang lain, Oridek, ada kesan dengan pernyataan lebih menghentak. "Pak Guru dan Bu Guru yang baru, kalau mengajar, tara pakai kekerasan. Karena mereka baik, saya mau bantu. Saya ambilkan air kalau Pak Guru atau Bu Guru mau mandi," tutur Andreas Usior, murid kelas XI-A SMPN 3.
Seperti mengamini, Kepala SMPN 3 Oridek Biak Numfor, Hendrik Irarya A.Md.Pd. menyatakan sekolah sangat terbantu oleh kehadiran SM3T.
"Kami hanya punya lima guru. Kami sangat membutuhkan guru Penjas, Bahasa Indonesia, dan Matematika. SM3T tidak sekadar mengisi kekosongan itu. Mereka bekerja dengan rajin. Kesukaan murid-murid tersalurkan, Praktik bermacam-macam olahraga, juga melukis, dan membaca puisi," ujar Hendrik Irarya.
*Nasrudin, peserta SM3T 2011 yang mengajar di SDN Inpres Sawawi, Distrik Warsa dan SMPN 1 Oridek, Kabupaten Biak Numfor, Papua.
Memotivasi, Menemani
Apa yang telah dilakukan oleh 87 peserta program SM-3T di Kabupaten Biak-Numfor sehingga mereka begitu mengena di hati?" Jujur, belum banyak. Apalagi persoalan pendidikan di sini bukan sekadar kekurangan guru. Ada juga persoalan disiplin dan semangat belajar," kata Aprisal Al Nahli yang mengajar penjas di SMA Sup Byaki Fyadi Distrik Samofa.
Alumnus Universitas Negeri Makasar itu hanya punya sebelas murid tapi tak pernah hadir lengkap. Maka ketika mengajar, pelajaran dan praktik dia letakkan di belakang. Apa yang di depan? "Motivasi. Itulah yang mereka tidak miliki, Bahkan cita-cita pun mereka tidak punya. Bayangkan, sekolah tanpa cita-cita, apa jadinya?" Yang lucu, karena dia selalu memotivasi, ada murid berkomentar, "Pak Guru seperti Mario Teguh saja!"
Darussalam yang mendapat tugas mengajar di SD YPK Namber, Distrik Numfor Barat, memotivasi dengan cara yang lebih heroik. Kali pertama masuk kelas II, hanya ada lima murid, padahal mestinya 20-an anak. Dia minta lima murid itu untuk membujuk teman-teman mereka. Seminggu kemudian. 22 anak masuk. Di antara mereka, ada seorang anak yang satu hari masuk, seminggu bolos karena seragamnya basah oleh hujan yang memang turun sewaktu-waktu.
"Saya bilang, "sekolah tak harus berseragam. Pakai baju biasa pun tak apa asal mau belajar. Jadi, masuklah setiap hari. Kalau kepala sekolah marah, biar Pak Guru nanti yang menghadapi...". Alhamdulillah, anak itu sekarang tidak bolos lagi," kata Darussalam. Dia mencatat, banyak anak didiknya belum bisa membaca, belum mengenal abjad A-Z, tapi pintar menghitung.
Keinginan memotivasi juga merasuki Erwin Yamin. Dia mengajar Penas di SMP 3 Wona yang jauh dari pusat kota, jalan ke sana sangat menanjak, dan zona merah pula (kantong Organisasi Papua Merdeka). Listrik tidak ada, air pun susah. Karena sekolah itu kekurangan guru dan murid-murid pun nyaris tak punya semangat, dia tetap datang dua kali seminggu. Murid-murid yang malas belajar, kini mau menempuh dua jam jalan kaki untuk sampai ke sekolah.
"Saya ingin tinggal di sana agar lebih leluasa berbagi tapi karena persoalan keamanan, kepala sekolah melarang," tambah Erwin.
Bagaimana dengan guru BK yang memang bertugas menangani "sikap dan mental" murid? Munawar punya cerita. Meski di Distrik Biak Kota, dia tetap harus mengatasi persoalan yang tak ringan.
"Sekolah saya, SMK YPK 2, itu semacam tempat pembuangan. Murid-murid yang nakal di sekolah lain, dikeluarkan dan masuk ke sini. Jumlah murid sekitar 400 tapi yang masuk 100. Itu pun sering keluar kelas begitu saja ketika guru mengajar," jelas Munawar.
Awalnya, susah sekali." Makin dinasihati, mereka makin lari. Jika dikerasi, melawanlah pasti. Setelah sekian waktu, saya temukan cara jitu, Saya dekati mereka sebagai teman, bukan sebagai murid. Ternyata, mereka melunak juga," papar Munawar yang kemudian bersama peserta program SM3T yang lain mengadakan soft pelatihan, mereka makin rajin dan menjadi motivator bagi teman-temannya."
*Aprisal Al Nahli, peserta SM3T yang mengajar di SMA Sup Byaki Fyadi Distrik Samofa, Kabupaten Biak Numfor, Papua.
Darussalam, peserta SM3T yang mengajar di SD YPK Namber, Distrik Numfor Barat, Kabupaten Biak Numfor, Papua.
Erwin Yamin, peserta SM3T yang mengajar di SMP 3 Wona, Kabupaten Biak Numfor, Papua.
Munawar, peserta SM3T yang mengajar di SMK YPK 2, Biak Kota, Papua.
Advertisement
Rasa Sayang
Saat pembekalan, peserta program SM3T tentu sudah membayangkan bakal bertemu dengan aneka persoalan. Baik yang muncul dari dalam maupun dari luar diri. Ketakutan membiak pula di dada. Namun setelah bertemu dengan anak-anak yang benar-benar butuh sentuhan, ketakutan itu berubah menjadi tantangan.
Menyeberangi laut dengan perahu di bawah cuaca yang tak jelas ke Pulau Numfor, jalan kaki berkilometer, menempati rumah dinas yang bahkan guru sekolah pun tak mau tinggal di sana, atau bergiliran masuk rumah sakit karena terserang malaria tropikana bukan lagi hambatan atau ancaman melainkan keniscayaan langkah untuk Maju Bersama Memajukan Indonesia. Wajarlah jika Kepala SMP Negeri 1 Biak Timur, Kostan Maryen mengapresiasi para peserta SM-3T.
"Saya salut. Mereka begitu berani. Dan karena kami memang sangat membutuhkan guru, sayang kalau mereka hanya setahun mengabdi lalu pergi," tutur Ketua Program SM3T Kostan Maryenta.
Kepala SMA Negeri 1 Warsa, Adrianus Mambobo juga mengutarakan "rasa sayang" serupa. Meski pada awalnya bingung karena tidak bisa menjadi tuan rumah yang baik bagi peserta.
"Tidak bisakah masa kontrak mereka diperpanjang? Ibu Kartini yang mengajar bahasa Inggris itu, misalnya, kalau bisa, jangan pulang, tetaplah di sini,"
ujar Adrianus Mambobo.
Dan bagi Andrianus Usior, murid yang setia mengawal Pak Guru dan Bu Guru, kenyataan program setahun itu terasa lebih menekan. "Kami semangat belajar sekarang. Kalau Pak Guru dan Bu Guru pergi, meninggalkan Papua, bagaimana kami?" tanya Andrianus Usior.
(Advertorial)