Kemenhut: 75% Satwa Liar Hidup di Luar Kawasan Konservasi

Ruang gerak satwa liar kian sempit dan mengancam ekosistemnya. Dan ini membuat potensi konflik semakin tinggi.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 12 Jun 2014, 16:33 WIB

Liputan6.com, Bengkulu - Kementerian Kehutanan mencatat sedikitnya 75% satwa liar berada di luar kawasan konservasi, termasuk di Bengkulu. Sehingga menimbulkan kerawanan konflik dengan manusia. Hal itu diungkapkan Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) Kementerian Kehutanan Novianto Bambang di Bengkulu.

"Atas data tersebut, memang diperlukan satuan tugas atau satgas khusus untuk menangani potensi dan terjadinya konflik satwa liar dan manusia di Provinsi Bengkulu," kata Bambang, Kamis (12/6/2014).

Provinsi Bengkulu, menurutnya, merupakan satu dari beberapa daerah Indonesia yang memiliki konflik antara manusia dengan harimau dengan tinggi yang tinggi.

"Di Sumatera, ada provinsi Riau dan Lampung yang merupakan daerah dengan potensi konflik yang tinggi, sehingga perlu penanganan khusus," ujarnya.

Di Sumatera, katanya, beberapa waktu terakhir, telah dilaporkan terjadi perusakan tanaman industri oleh satwa liar di beberapa lokasi hutan ekonomi.

"Tercatat juga, ada beberapa gerombolan monyet ekor panjang yang merusak tanaman akasia di beberapa hutan, karena ternyata gerombolan monyet itu menyukai kambium pohon yang manis," jelasnya.

Di provinsi Bengkulu sendiri, lanjutnya, diketahui ruang gerak satwa liar semakin sempit dan mengancam ekosistem satwa liar dan tentunya potensi konflik semakin tinggi. "Penyebab utamanya, karena adanya perambahan kawasan hutan, untuk pembukaan lahan perkebunan oleh masyarakat. Sehingga mengancam ekosistem satwa liar," jelas dia.

Sementara, itu Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Sumardi mengatakan seharusnya Provinsi Bengkulu bersama tim satgas penanggulangan konflik bekerja dengan cepat untuk menekan potensi konflik satwa liar dan manusia.

"Berdasarkan keputusan gubernur, sudah kita bentuk satgas penangangan konflik. Dan kita harapkan dapat bersinergi bersama dinas terkait lainnya, LSM konservasi Lingkar Institut sebagai penggiat dan masyarakat setempat untuk menanggulangi konflik," ungkapnya.

Menurutnya, tidak seharusnya, masyarakat dalam menanggapi potensi konflik dengan cara-cara jahiliah, seperti memburu satwa liar yang dilindungi.

"Kita ingin, konflik yang mungkin terjadi dapat diselesaikan dengan tidak melanggar hukum dan dapat saling menjaga kepentingan, baik satwa liar yang merasa terggangu ataupun masyarakat yang telah dirugikan. Namun tidak dengan cara-cara yang merusak," pungkas Sumardi. (Mut)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya