Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengembang Rumah dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) menilai antara pasokan dan permintaan masyarakat terhadap rumah sangat tidak seimbang, terutama pada 2014.
Demikian pernyataan Ketua Umum APERSI, Eddy Ganefo. Dia mengaku, perumahan merupakan kebutuhan utama yang sangat penting. Sayang, masih banyak orang terpaksa memupus harapan untuk membeli rumah karena harganya yang mahal, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Advertisement
"Lihat saja penyediaan dan kebutuhan rumah sangat memprihatinkan setiap tahun. Kebutuhan rumah per tahun mencapai 1 juta unit atau setara dengan 4 juta orang," tutur dia kepada Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (15/6/2014).
Sedangkan kemampuan penyediaannya, kata Eddy oleh pemerintah dan swasta tidak mencapai 200 ribu per tahun. Akibatnya harga rumah melambung tinggi karena permintaan yang jauh lebih besar ketimbang pasokan. Contohnya saja rusunami yang justru dibeli oleh kalangan menengah ke atas.
Paling parah, tambah dia, kondisi penyediaan rumah tahun ini. Eddy menyebut, program rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga pertengahan tahun ini masih jauh dari target.
"Sampai dengan Juni ini, rumah subsidi FLPP belum mencapai angka 10 ribu unit. Bahkan hanya sekitar 5 ribu unit. Jadi penyediaan rumah oleh pemerintah paling parah adalah tahun ini," jelasnya.
Alasan dia, bukan karena persoalan tahun politik sehingga pemerintah mengabaikan program perumahan, melainkan akibat ketidakpahaman pemerintah soal pentingnya perumahan rakyat.
"Dengan kenaikan harga rumah tapak, maka fasilitas MBR seharusnya dimaksimalkan. Jika tidak, mereka akan tetap tidak bisa mengakses rumah tapak apalagi rumah susun," papar Eddy.
Untuk itu, kata Eddy, APERSI akan mengusulkan program land banking dan penyediaan rumah dengan harga terjangkau kepada para presiden terpilih mendatang. (Fik/Ahm)