Liputan6.com, Jakarta Menurut Anda berada di kelas, mengikuti guru mengajar, mengerjakan tugas soal matematika, fisika, sejarah atau bahasa merupakan hal membosankan? Bisa iya, bisa tidak.
Namun, ketika menonton film yang setting-nya kelas, terasa betul kalau sekolah sangatlah mengasyikkan. Usai nonton biasanya kita langsung membayangkan dan bergumam, andai sekolah saya dulu seasyik di film.
Advertisement
Apa saja sih film berlatar sekolah yang asyik? Kami mencoba mengingat-ingat lagi film berlatar sekolah yang asyik. Dan didapatlah daftar ini. Selamat menonton film-filmnya.(Ade/Mer)
The Breakfast Club
The Breakfast Club (Sutr. John Hughes, 1985)
Ini adalah cenderamata dari sineas jenius era 1980-an John Hughes. Di era itu, Hughes didapuk sebagai Bapaknya Film Remaja Hollywood. Hughes cerdas menangkap jiwa zaman masa itu. The Breakfast Club ini salah satunya yang dibintangi Emilio Estevez dan Molly Ringwald yang ngetop di dekade itu. Filmnya mengambil setting saat lima siswa dengan sifat dan karakter berbeda menjalani hukuman di sebuah kelas. Saling benci dan tak saling mengenal, mereka akhirnya terbuka satu sama lain, dan mendapati ternyata memilki persamaan yang tak pernah mereka kira.
Advertisement
Dead Poets Society
Dead Poets Society (Sutr. Peter Weir, 1989)
Di film ini para remaja terpikat pada puisi. Di sini, puisi merupakan tokoh utama yang tak nampak, tapi dengan cepat bisa menyihir sejumlah anak muda. Berkat puisi-puisi yang didengungkan guru bahasa Inggris (diperankan Robin Williams), anak-anak muda di film ini (di antaranya dibintangi Robert Sean Leonard, Ethan Hawke) menghambur ke alam imajinasi dan kebebasan. Mereka berkumpul dalam gelap hutan, saling membacakan puisi dan menyebut diri Dead Poets Society. Sungguh, puisi tak pernah seasyik ini sebelumnya.
Dangerous Minds
Dangerous Minds (Sutr. John N. Smith, 1995)
Pernah membayangkan punya guru bernama Michelle Pfeiffer? Pasti asyik. Di Dangerous Minds, Pfeiffer berperan sebagai Louanne Johnson, mantan mariner yang beralih jadi guru di sebuah sekolah di wilayah miskin dan rawan kejahatan. Murid-murid yang harus dihadapinya tak peduli dengan sekolah, dan memendam persoalan hidup masing-masing. Setelah tak dianggap, Louanne menggunakan berbagai cara tak lazim untuk mengajar (menggunakan karate, lirik Bob Dylan dan macam-macam lagi) demi mendapat perhatian dan kepercayaan muridnya.
Advertisement
The Emperor's Club
The Emperor's Club (Sutr. Michael Hoffman, 2002)
Selama puluhan tahun, sebuah SMA khusus pria menggelar tradisi lomba menguji pengetahuan siswanya tentang sejarah Romawi. Pemenangnya mendapat gelar Julius Caesar. Jurinya adalah William Hundert (Kevin Kline), sang guru sejarah. Tersebutlah Sedgewick Bell (Emile Hirsch), murid baru yang sombong dan pemberontak. Siapa sangka Bell jadi finalis. Hundert awalnya bangga, tapi rasa itu tak lama. Hundert mendapati Bell curang. Ketika dikonfrontasi, Bell tak mengelak. Dua puluh lima tahun kemudian, Bell mengadakan reuni mengulang lagi pertandingan "Julius Caesar".
Catatan Akhir Sekolah
Catatan Akhir Sekolah (Sutr. Hanung Bramantyo, 2005)
Bahkan setelah Ayat-ayat Cinta, Sang Pencerah, Tanda Tanya (?), atau bahkan Soekarno, film ini, Catatan Akhir Sekolah tetaplah karya terbaik Hanung Bramantyo. Film ini punya opening sequence—kamera bergerak di sebuah SMA--yang rasanya layak disebut salah satu yang terbaik yang pernah hadir di film Indonesia. Kisahnya pun bergerak dinamis, sebuah proyek film anak SMA akhirnya mengungkap kebobrokan di sekolah.
Advertisement
Laskar Pelangi
Laskar Pelangi (Sutr. Riri Riza, Laskar Pelangi, 2008)
Inilah film yang memulai apa yang sering disebut kisah inspiratif. Kisah from zero to hero. Kisah anak miskin, berhasil mewujudkan mimpi tingginya. Pintu menuju sukses itu adalah pendidikan. Di sebuah sekolah Muhammadiyah yang terpencil di Belitung, mimpi-mimpi itu dipupuk, disiram. Banyak yang terinspirasi berkat film ini. Hingga kini, Laskar Pelangi adalah film tersukses sepanjang masa dengan jumlah penonton 4,6 juta.
The Philosophers
The Philosophers (Sutr. John Huddles, 2013)
Film ini mungkin akan dikenang sebagai "Film Hollywood Cinta Laura". Padahal, film ini adalah sebuah film yang jarang dibuat Hollywood hari-hari ini: setting di sebuah kelas, mengajak murid-murid berbincang dan berandai-andai, apa jadinya bila dunia mengalami bencana nuklir. Siapa yang layak hidup, dan yang tidak? Persoalan filsafat yang menyenggol etika, moral, dan logika ini sejatinya sebuah eksperimen sinema yang nyaris punah dari Hollywood.
Advertisement