Liputan6.com, London - Pertempuran di Suriah tidak terbatas di wilayah-wilayah sengketa di sana, tapi dikhawatirkan adanya penyebaran kekerasan ke negara-negara lain terkait keterlibatan warga negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam krisis itu.
Setelah usainya pendudukan Uni Soviet di Afghanistan, ribuan mujahid warga negara asing meninggalkan Afghanistan dengan membawa keahlian tempur mereka sehingga menjadi ancaman di negeri kampung halaman mereka. Peperangan melawan Uni Soviet bak 'kawah candradimuka' yang menajamkan keahlian tempur para mujahid.
Advertisement
Kekhawatiran serupa muncul lagi dengan adanya krisis di Suriah. Banyaknya warga negara luar Suriah yang terlibat dalam krisis itu dikhawatirkan menjadi tempat latihan para pemuda yang bertempur di pihak pemberontak yang kemudian membawa semangat krisis ke kampung halaman mereka.
Sebagaimana Liputan6.com lansir dari Russia Today, Rabu(18/6/2014), peringatan teror, pemboman bergaya 9/11 dan pembunuhan warga negara Inggris akan segera hadir di jalan-jalan di Inggris, demikian bunyi ancaman para warga negara Inggris yang sedang berperang bersama dengan kelompok militan paling bengis di Suriah dan Irak.
Menurut Sunday Times, para pejuang itu berjanji bahwa setelah mereka usai berperang di Timur Tengah, Inggris adalah tempat berikutnya. Pesan ini datang dari tiga orang di antara pejuang itu, semuanya masih berusia belasan dan dua puluhan.
Mereka bukan pemuda luntang-lantung: satu dari mereka adalah seorang peretas berusia 20 tahun dari Birmingham yang pernah mencuri data-data Tony Blair dan memasangnya secara daring dan kemudian dipenjara untuk pelanggaran lain.
Pada 4 Juni lalu, Junaid Hussain mengatakan bahwa 'bendera hitam jihad' akan berkibar di Downing Street sebagai ancaman kengerian yang akan datang. Ia sudah berjuang selama lebih dari setahun di Suriah.
Muhammad Hassan (19) dari Portsmouth, dulunya adalah seorang pelajar di sekolah yang bergengsi. Ia mengancam melalui Twitter bahwa jika Amerika Serikat tidak mengentikan ancaman atas posisi-posisi ISIS menggunakan drone, maka serangan serupa 9/11 akan berulang di AS.
Pemuda yang ketiga, juga dari Portsmouth, mengancam bakal melancarkan 'rangkaian pembunuhan' terhadap warga Inggris sewaktu ia nantinya kembali ke Negeri Kerajaan itu.
"Bayangkanlah seseorang meledakkan bom di tempat pemungutan suara atau menyergap kendaraan pembawa hasil pemilu. Runtuhlah seluruh sistemnya," bunyi salah satu tweet dari Junaid Hussain sebelum ia mengulang tweet dari seseorang yang sehaluan dengannya kepada warga Inggris untuk 'hati-hati' karena kami akan kembali ke Inggris dan menebar kekacauan."
Pelanggaran lain yang dilakukan Hussain adalah ketika ia memasang cara pembuatan bom melalui internet dan kiat-kiat untuk menyelundupkan peralatan peledak itu menerobos keamanan bandara.
Pergi dari Inggris ke Suriah tidaklah sesulit yang dikira: para pemuda itu pergi ke Turki kemudian melintas batas. Satu dari mereka pernah tertangkap kamera CCTV ketika melakukan perjalanan liburan dari bandara Gatwick di London ke Turki.
Kelompok Hassan (tidak termasuk yang bercuap di Twitter tadi) mencakup tiga orang pemuda lain, semuanya masih berusia 20-an. Setelah tiba di Turki, mereka menuju Suriah menggunakan mobil.
Ini bukan pertama kalinya khalayak Inggris melihat warga sebangsa bertempur bersama kelompok ekstrem Timur Tengah. Sudah ada beberapa ancaman, sehingga pemerintah memantau sejumlah pemuda yang pulang dan melaporkan bahwa para pemuda Sunni Inggris ini menggunakan Suriah sebagai sarana latihan sebelum membawa peperangan ke tanah Inggris.
Terkenal Kejam
Yang lebih mencengangkan lagi adalah kisah bagaimana kekejian mereka menyebar luas di Suriah, bahkan di kalangan pejuang lain yang bukan dari Inggris: warga Inggris menjadi bagian terbesar dari orang asing yang bergabung dengan ISIS, dan terkenal dengan kekejian berdarah mereka dalam menewaskan dan mencabik-cabik tawanan.
Seorang jenderal Tentara Pembebasan Suriah bercerita dalam kengerian tentang apa yang telah dilakukan oleh 400 ekstremis dari Inggris. Menurutnya, catatan kelam ISIS tidak bermula dari tindakan pejuang setempat.
Untuk menggambarkan dalamnya keterlibatan warga asing dalam ISIS, Mike Rogers, Kepala Komisi Intelijen di Parlemen AS, menyampaikan kecurigaannya kepada Fox News bahwa ada ribuan sukarelawan dan laskar dari Amerika dan Eropa yang berperang untuk ISIS, dan memiliki kemampuan untuk memilih seseorang pemegang paspor negara Barat untuk dikirim kembali ke Eropa dan AS untuk kegiatan teror.
"Begitulah bahayanya," kata politisi Republika itu, yang meminta kepada Barack Obama untuk menggunakan pengaruhnya ke negara-negara Arab Sunni (semisal Arab Saudi dan Mesir) untuk menangani ISIS, yang bisa saja didanai oleh penguasa-penguasa dalam negara-negara tersebut yang bersimpati kepada ISIS.
Ancaman-ancaman itu muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran peningkatan kekerasan di Irak yang telah lepas kendali dengan semakin dekatnya ISIS ke Baghdad.
Pemangkir dalam angkatan bersenjata bertambah banyak ketika kaum militan merangsek negeri itu dan mencaplok senjata dan peralatan bernilai jutaan dolar dari AS untuk kemudian dipamerkan melalui video.
Para pemberontak telah merangsek ke kota-kota utama Mosul dan Tikrit, sambil terus memasang video pemenggalan-pemenggalan selagi mereka menuju ibu kota.
Inggris telah mengambil langkah-langkah untuk menghentikan penyebaran paham ekstrem di negara tersebut. Di akhir pekan lalu, Twitter melakukan blokir terhadap akun-akun yang terkait dengan ISIS dan para pendukungnya di Inggris.
Langkah ini cukup masuk akal, karena sebagian besar komunikasi antara para pendukung jihad sedunia dilakukan melalui jejaring sosial. Dalam jejaring itu, para teroris yang lahir di Inggris kemudian mulai menggunakan nama-nama berbau agama.
Advertisement
Inggris Terlalu Baik Hati?
Perdana Menteri David Cameron juga mengeluarkan peringatan terkait warganya yang menjadi 'teroris' setelah kembali dari Suriah. Dia mengatakan, Inggris telah menjadi terlalu toleran karena kebaikan hatinya sehingga meningkatlah paham ekstrem itu. Melalui beberapa kesempatan, ia kemudian menyerukan untuk melindungi dan menjunjungi tinggi kehormatan 'Inggris' untuk melawan kecurigaan adanya Islamisasi terselubung di Inggris. Dalam suatu pidato umum, ia mengatakan bahwa pemerintah telah menjadi terlalu lembek dalam beberapa hal.
Kepada masyarakat, Cameron mengatakan "Tidak cukup hanya menjunjung tinggi kehormatan Inggris itu di sekolah-sekolah. Tata nilai itu bukan sekadar pilihan, namun merupakan inti tentang cara bagaimana hidup di Inggris."
"Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita seperti mengirimkan pesan yang salah, yakni bahwa jika ada yang tidak percaya kepada demokrasi, maka itu tidak apa-apa. Bisa demikian hanya jika kesetaraan tidak ada dalam benak kamu, jangan ambil pusing, seakan-akan jika kamu betul-betul tidak toleran kepada orang lain, maka kami akan tetap toleran terhadapmu," tambahnya.
"Sikap yang lembek begitu tidak hanya mendatangkan perpecahan; ia juga menghadirkan paham ekstrem—baik yang diliputi kekerasan maupun yang secara halus. Kita harus lebih tegas dalam memajukan nilai-nilai Inggris dan lembaga-lembaga yang menyokongnya," demikian dikatakan Cameron sesaat setelah rebaknya kekhawatiran tentang dugaan rencana Islamisasi secara pelan-pelan melalui penyusupan ke sekolah-sekolah di Inggris.
Pernyataan Cameron tersebut berujung pada penyelidikan dan kegaduhan di kalangan pemerintah Inggris. (Riz)