Heboh Penutupan Lokalisasi Dolly Jadi Sorotan Dunia

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya menutup Dolly juga menjadi sorotan dunia. Sejumlah media asing ikut memberitakan.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 19 Jun 2014, 09:08 WIB
Blokade jalan oleh penghuni lokalisasi Dolly (AFP PHOTO/JUNI KRISWANTO)

Liputan6.com, Jakarta - Rabu 18 Juni 2014 adalah malam terakhir untuk Gang Dolly. Etalase kaca, yang biasa memajang para pekerja seks komersial berpakaian minim, kosong dan gelap. Para mucikari tak lagi sibuk bertransaksi dengan para tamu sambil memencet kalkulator. Sementara, warga menutup rumah dan toko, khawatir kericuhan bakal terjadi. Suasana mencekam kala itu.

Pada saat bersamaan di  Gedung Islamic Center Surabaya -- yang jaraknya sekitar 1 km dari Dolly -- sejumlah pejabat penting berkumpul. Di antaranya Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri, Gubernur Jatim Soekarwo, Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Mereka secara resmi menutup operasional lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara yang lebih besar daripada lokalisasi Geylang di Singapura dan Phat Pong di Thailand.

Para PSK dan mucikari diberi bantuan untuk alih profesi. "Yang harus dipertahankan adalah sesuatu hal positif, kalau tidak positif tidak perlu dipertahankan," kata Mensos Salim Segaf Al Jufri dalam sambutannya.

Penutupan Dolly yang beroperasi sejak 1967 lalu tak mudah. Diwarnai kontroversi sengit dan penolakan baik dari PSK maupun mucikari.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Surabaya juga menjadi sorotan dunia. Sejumlah media asing ikut memberitakan.

Situs Radio Australia hari ini, 19 Juni 2014 mengangkat artikel berjudul 'Sex workers protest shutdown of Surabaya's "Dolly" red-light district', yang menceritakan penentangan mereka yang mencari nafkah dari prostitusi atas penutupan kawasan lampu merah di Kota Pahlawan.

"Aku ingin melihat anak-anak ku sukses, dan hanya dengan itu aku bisa bahagia. Jadi, jangan aku minta berhenti sekarang. Aku akan kembali ke jalan yang benar pada saatnya nanti," kata Yuni, PSK 38 tahun yang mengaku mencari nafkah di Dolly untuk membayai anak-anaknya sekolah.

BBC...

 


BBC

BBC

BBC pada 18 Juni 2014 juga memuat tulisan berjudul, 'Battle over Indonesian red-light district' yang mengisahkan pertentangan terkait penutupan lokalisasi Gang Dolly atau Dolly Lane -- dalam Bahasa Inggris.

Disebutkan, Dolly bukan hanya soal perdagangan seksual. Namun sudah menjelma menjadi sistem ekonomi. Lokalisasi itu memberikan pekerjaan dan pendapatan bagi penduduk di sekitarnya -- dari tukang parkir, warung, laundry, sampai penjual mie rebus.

"Rabu malam menjadi batas waktunya. Para pejabat berencana mengeluarkan ratusan pekerja seks dari Dolly dan menutup 60 rumah bordil untuk selamanya."

Kisah penutupan Dolly juga dimuat situs Gulf Times dengan judul. 'Indonesian city orders red-light district shuttered'. Berita senada juga dimuat situs Channel News Asia.

Sementara, situs berita Thailand mengangkat tulisan dengan judul 'Surabaya 'Dolly' district to close' kemarin.

Dolly melegenda dan menjadi bagian dari sejarah Surabaya. Kisahnya berawal pada 1967. Saat itu muncul seorang bernama Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga pelacur, yang kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda.

Dolly merupakan seorang wanita yang memiliki perangai seperti laki-laki, tomboy. Ia lebih suka dipanggil 'papi' daripada 'mami'. Asal usul Dolly Khavit ada 2 versi. Pertama, peranakan Jawa dan Filipina. Kedua, berdarah Belanda dengan nama asli Dolly van de Mart.

Dari hasil pernikahannya, Dolly dikaruniai putra bernama Edy. Ia juga mengambil anak angkat bernama Bambang. Akhirnya, Dolly memiliki usaha pelacuran. Ia mengangkat mucikari yang diambil dari Kampung Semolosewu. Ia kemudian mengelola satu wisma bernama Mamamia.

Tak lama setelah itu, dibangun sebuah wisma bernama Barbara yang dikelola keturunan Belanda. Di lokasi itu, muncul kemudian Wisma TKT dan Sembilan Belas. Akhirnya, jadilah perkampungan itu menjadi nama Gang Dolly pada awal 1970. (Sss)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya