Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Hanz Jimenez Salim, Sugeng Triono, Ahmad Romadoni
Atasan yang diminta kesaksiannya akhirnya maju ke muka podium. Mengupas kembali kejadian masa lalu, 16 tahun silam yang melibatkan seorang prajurit, mantan anak buahnya yang kini mengajukan diri sebagai calon presiden.
Advertisement
Wiranto, nama Jenderal yang kini telah purnawirawan itu. Pada 1998 silam dirinya adalah Panglima ABRI yang kini berganti nama menjadi TNI, sekaligus atasan dari Letnan Jenderal Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad yang dipecat dari militer. Prabowo saat itu dituduh terlibat pelanggaran HAM.
Isu ini belakangan santer diarahkan kepada capres nomor urut 1 itu. Diduga hal itulah yang mendasari alasan pemecatan Prabowo dari militer. Yang bertambah ramai setelah surat rekomendasi pemecatan Prabowo oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) bocor dan menyebar.
Isu ini juga yang pernah diungkit cawapres lawan, Jusuf Kalla atau JK dalam debat capres jilid I yang digelar Senin malam 9 Juni 2014 lalu. Pada kesempatan itu, JK menanyakan langsung kepada Prabowo mengenai langkahnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Saat menjawab pertanyaan JK itulah, Prabowo menyinggung soal atasannya. Dia meminta JK untuk menanyakan langsung kepada atasannya saat itu.
"Jadi saya mengerti ke mana arah (pertanyaan) bapak. Saya tidak apa-apa. Tapi saya ada di sini sebagai mantan prajurit telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya, selebihnya atasan yang menilai," ucap Prabowo dalam debat capres 9 Juni 2014 lalu.
"Kita bertanggungjawab. Penilaian ada pada atasan. Kalau bapak mau tahu ya silakan tanya atasan saya waktu itu.”
Jawaban Sang Atasan
Di podiumnya Kamis siang 19 Juni 2014, dengan berkeringat Wiranto menjawab ‘sentilan’ Prabowo. Pria yang lahir 4 April 1947 silam itu mengaku tak mengetahui siapa atasan yang dimaksud Prabowo.
"Pada saat itu Panglima ABRI-nya adalah Jenderal (alm) Feisal Tanjung. Sedangkan kasus itu terungkap pada Maret 1998 dan saya telah menggantikan posisi beliau (alm) Feisal Tanjung," kata Wiranto di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Wiranto, baik dirinya ataupun almarhum Feisal Tanjung tak pernah memberikan perintah kekerasan atau penculikan kepada bawahannya, termasuk Prabowo.
"Seingat saya pada saat menanyakan langsung ke Prabowo pada saat itu siapa yang memberi perintah. Yang bersangkutan (Prabowo) mengaku bahwa apa yang dilakukan bukan perintah Panglima."
Kisah Wiranto pun bergulir ke masa 1998 lalu. Ketua Umum Partai Hanura yang kini merapat ke sisi pasangan capres dan cawapres Jokowi-JK itu menyatakan, salah satu alasan pemecatan Prabowo, yakni dia terbukti terlibat dalam kasus penculikan aktivis.
"Tatkala Prabowo nyata-nyata telah dibuktikan bahwa beliau terlibat dalam kasus penculikan, maka tentu diberhentikannya itu sesuai dengan norma yang berlaku," ujarnya.
Wiranto mengaku pernah menanyakan langsung kepada Prabowo mengenai hal ini. Dari sana, dia mengambil kesimpulan, keputusan untuk menculik sejumlah mahasiswa merupakan inisiatif capres pasangan Hatta Rajasa itu sendiri.
"Seingat saya pada saat menanyakan langsung kepada Letjen Prabowo saat itu tentang siapa yang memberi perintah (penculikan aktivis), yang bersangkutan mengaku bahwa apa yang dilakukan bukan perintah Panglima. Namun merupakan inisiatifnya sendiri dari hasil analisa keadaan saat itu," ujar Wiranto.
Namun dia menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai sendiri makna pemecatan yang diberikan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) kepada Prabowo, apakah diberhentikan dengan hormat atau sebaliknya.
"Seorang militer berhenti dari dinas keprajuritan pasti ada sebabnya."
Kenapa Tega?
Suara Wiranto pun telah sampai ke telinga sang capres. Namun tak banyak kata yang keluar dari bibirnya saat diminta komentarnya mengenai hal itu.
"Nggak, nggak. Tanya saja mereka," jawab Prabowo ketika ditemui di Hotel Grand Hyatt, Jakarta.
Tim sukses pasangan Prabowo-Hatta juga turut bersuara. Sekretaris Timses Prabowo Hatta, Fadli Zon mempersilakan Wiranto jika ingin membahas persoalan ini. Namun menurutnya, surat pemecatan yang dikeluarkan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tak memiliki arti.
"Surat itu tidak ada artinya,” cetus Fadli di lapangan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menurut Fadli, surat itu sebenarnya merupakan bahan mentah yang ada di brankas Panglima TNI kala itu. Dan surat itu adalah rahasia negara.
"Menurut hukum, surat itu adalah rahasia negara. Jadi kalau ada orang yang membuka rahasia negara dan diketahui itu hukumnya adalah pidana."
Menurut Fadli, langkah Wiranto itu semakin membuktikan ada ketakutan yang timbul akibat meningkatnya elektabilitas Prabowo-Hatta.
Namun, kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa juga masih santai menanggapi pernyataan Wiranto. Mereka tak takut hal ini akan berdampak pada elektabilitas pasangan nomor urut 1 itu.
Seperti yang diungkapkan Ketua Umum Partai Gerindra Suhardi. "Tidak, sepertinya tidak (memengaruhi elektabilitas)," kata Suhardi di Rumah Polonia, Jakarta Timur.
Juru bicara tim pemenang Prabowo-Hatta, Nurul Arifin ikut bersuara. Menurutnya, apa yang disampaikan Wiranto sangat diskriminatif. Padahal isu pelanggaran HAM sudah tidak muncul saat Prabowo berdampingan dengan Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres pada Pilpres 2009 lalu.
"Tapi kenapa sekarang orang-orang begitu jahatnya mendiskreditkan Pak Prabowo sampai pada hal-hal yang sifatnya tidak perlu lagi karena sifatnya sudah clear digembar-gemborkan lagi,” ucap Nurul.
“Saya sungguh tidak habis pikir kepada saudara-saudara saya, kenapa sampai tega hati menyudutkan anak bangsa ini yang bernama Prabowo Subianto. Itu jelas-jelas negative campaign (kampanye negatif). Terima kasih atas fitnahnya. Cuma Tuhan yang mengetahui itu semua.” (Rmn)