RI Perlu Seimbangkan Konsumsi Domestik dan Investasi

Konsumsi rumah tangga perlu direm agar mengurangi impor.

oleh Septian Deny diperbarui 03 Jul 2014, 21:39 WIB
(Foto: Gimni.org)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan baru dinilai perlu melakukan rebalancing antara investasi dan konsumsi domestik. Pasalnya, jika konsumsi yang tinggi tidak diimbangi dengan pertumbuhan investasi, maka Indonesia akan semakin banyak melakukan impor.

Ekonom Citibank, Helmi Arman mengatakan, impor yang dilakukan Indonesia kebanyakan diperuntukkan untuk pemenuhan konsumsi domestik dan kebutuhan pembangunan investasi.

Dia menjelaskan, perbaikan defisit necara perdagangan saat ini bukan karena penurunan impor secara keseluruhan, tetapi karena investasinya turun. Sementara tingkat konsumsi rumah tangga stabil. Hal ini dinilai perlu waspasda karena perbaikan tersebut belum aman.

"Kalau investasi tumbuhnya rendah maka pertumbuhan ekonomi juga tumbuh secara menurun. Pada 2014 ini kita sudah mengalami perbaikan defisitnya dimana tidak sebesar tahun lalu. Tahun ini defisit hanya sebesar 2% dari PDB, sedang tahun lalu sempat 4,4% dari PDB," ujar Helmi pada acara Buka Puasa Bersama Mitra Citi di Hotel Ritz Carlton, Pasific Place, Jakarta, Kamis (3/7/2014).

Menurut Helmi, yang perlu dilakukan pemerintah baru yaitu melakukan rebalancing antara investasi dan konsumsi domestik seperti yang dilakukan oleh China. Namun bedanya, jika China tengan menurunkan pertumbuhan investasi dengan menggenjot konsumsi domestik, sementar Indonesia berbanding terbalik.

"Investasi mereka (China) perlu diturunkan. Sedangkan kita perlu menaikkan investasi dengan mengerem konsumsi rumah tangga. Kalau tidak ada pengereman pertumbuhan konsumsi, maka impor meningkat. Terlebih lagi pada 2016, kapasitas produksi ekonomi Indonesia akan menipis sehingga perlu ada investasi pada mesin baru yang masih harus impor," jelas dia.

Pemerintah juga perlu mengubah jenis dan kualitas investasi yang masuk karena selama ini 80 persen investasi terutama dari modal asing masuk dalam bentuk pabrik untuk memenuhi kebutuhan domestik. Oleh sebab itu, perlu ditingkatkan investasi yang produknya diperuntukkan untuk kebutuhan ekspor.

"Peluang untuk itu masih ada karena China melakukan rebalancing sehingga perusahaan terutama dari Jepang mulai melirik ASEAN. Pilihan awalnya mungkin Thailand tetapi politik di sana tengah memanas maka pilihan lain yaitu Indonesia. Tapi selama ini Indonesia kalah dari Thailand dalam 3 aspek yaitu infrastruktur, kualitas SDM dan insentif," kata Helmi.

Selain itu, pemerintah juga perlu segera merelokasi anggaran subsidi BBM. Hal ini dinilai cara satu-satunya untuk mengurangi konsumsi BBM sehingga diharapkan juga akan mengurangi impor sektor migas.

"Cara yang paling mudah yaitu merelokasi subsidi BBM karena selama ini kenaikan suku bunga dan pelemahan rupiah tidak mampu mengerem konsumsi BBM. Kalau bisa direm, maka dana subsidi bisa digunakan membangun infrastruktur," tandasnya. (Dny/Ahm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya