DKPP Pecat 14 Anggota KPUD Pelanggar Kode Etik Berat

Salah satu sebab DKPP memberhentikan mereka adalah karena adanya pemihakan.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 04 Jul 2014, 22:51 WIB
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jimly Asshiddiqie dan Siti Fadilah Supari usai bertemu dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.(Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kembali memecat penyelenggara pemilihan umum. Dalam sidang tersebut, DKPP memutuskan memecat 14 anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di beberapa daerah.

Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menyebutkan, dari 14 anggota KPU yang dipecat itu tiga di antaranya dari Kota Batam yakni ketua dan dua orang anggota. Lalu satu anggota KPU Samosir, satu orang anggota KPU Minahasa Utara, tujuh orang di KPU Kota Tual, dan dua orang di Kota Kendari. Jumlah putusan mencapai 29. Empat ketetapan dan 25 putusan.

Sedangkan anggota KPU yang diberi peringatan ada 49 orang, sedangkan 72 lainnya tidak terbukti sehingga masih dilindungi. "Kita berharap jangan mengulangi kesalahan. Yang sudah direhabilitasi namanya juga harus kerja lebih hati-hati karena sudah pernah dilaporkan orang. Jadi jangan melakukan hal-hal yang mencurigakan," kata Jimly di kantornya, Jumat (4/7/2014).

Dari banyak kasus yang ditangani DKPP sesudah pemilu legislatif tercatat jumlah pengaduan 654 kasus. Jumlah ini belum berhenti karena setiap hari laporan terus mengalir. Dari ratusan kasus itu jumlah yang diadukan 3.045 orang. Mereka adalah anggota KPU dan Bawaslu pusat sampai kecamatan yang dianggap bermasalah. Tapi banyak juga yang tidak terbukti.

"Ini artinya para pemburu jabatan kekuasaan sangat mudah melampiaskan marahnya pada penyelenggara. Jadi harus siap jadi tempat pelampiasan para pemburu kekuasaan," papar Jimly.

Salah satu sebab DKPP memberhentikan mereka adalah karena ada pemihakan. Indikasinya bermacam-macam, termasuk karena uang. Dari perkara yang sudah disidang sebanyak 178, diputus 106, dan yang sudah dipecat keseluruhan ada 98 orang.

"Jadi penyelenggara berpihak terlalu kelihatan. Jadi harus membuktikan dirinya mampu bersikap netral. Kalau tidak bisa bahaya, bisa jadi korban, bisa dipukuli orang, dengan tingkat emosi masing-masing pendukung pasangan capres yang tinggi. Jadi jangan berpihak, bahaya," ujar dia.

Hingga kini, kata Jimly, pihaknya menemukan perkara selama 2 tahun banyak para petinggi, kepala daerah dan PNS mengintervensi pemilu di daerah. Waktu pemilu legislatif mungkin keberpihakan itu tidak kelihatan. Tapi pada pilpres akan kentara sekali karena cuma dua pasangan.

Meski kepala daerah dilindungi sistem pemilu, yakni harus cuti bila ikut kampanye, tapi tetap harus hati-hati jangan sampai ada konflik kepentingan membuat birokrasi makin berpihak. Keberpihakan itu bisa membuat nasibnya terancam karena bisa dipecat. Data mereka yang berpihak nantinya akan ada di DKPP dan bisa sewaktu-waktu disodorkan pada presiden terpilih karena terbukti berpihak.

"Jadi saya peringatkan pada PNS di seluruh Tanah Air, jangan berpihak. Saya prihatin karena standar etika tidak tumbuh dalam praktik pemerintahan. Seperti ada bupati yang nelepon saya minta anggota KPU tertentu dilindungi. Mereka telepon tanpa ada rasa bersalah. Pentingnya kita hayati etika pemerintahan, penyelenggara negara dan politik. Kalau etika tidak berfungsi, hukum tidak bisa tegak, dan demokrasi tidak bisa berkembang," tandas Jimly.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya