Liputan6.com, Vatikan Meminta maaf dalam kerendahan hati sungguh merupakan hal yang terkadang sulit dilakukan, apalagi oleh pihak yang seharusnya dianggap sebagai panutan. Paus Fransiskus mendobrak tradisi atau membuat terobosan baru yang melawan arus utama selama ini.
Dalam suatu pertemuan bersejarah di Vatikan, Paus Fransiskus bertemu dengan enam korban atas kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan rohaniawan. Hal ini merupakan pertama kalinya bagi kepausan dan merupakan ciri pelayanan paus welas asih dari Argentina ini.
Advertisement
Seperti dilansir Liputan6.com dari Irish Times (8/7/2014), dalam ibadah homili di Domus Santa Marta yang merupakan tempat kediamannya di Vatikan, Paus memulai hari itu dengan memohon maaf kepada enam orang: dua orang Irlandia, dua Inggris, dan dua Jerman.
"Ingat kejadian ketika Petrus berhadapan dengan Yesus sesudah interogasi menyeramkan itu...bagaimana mata Petrus bertemu dengan mata Yesus dan ia menangis... kejadian itulah yang ada dalam pikiran saya ketika saya melihatmu dan memikirkan begitu banyak pria dan wanita, anak laki dan perempuan."
"Saya merasakaan tatapan Yesus dan saya meminta anugerah untuk menangis, anugerah bagi gereja untuk menangis dan membuat perbaikan bagi putra dan putrinya yang telah mengkhianati amanah mereka, yang menyalahgunakan orang-orang yang tidak bersalah."
"Di hadapan Allah dan jemaat-Nya, saya menyatakan kepedihan atas dosa-dosa dan kejahatan keji penistaan oleh para rohaniwan. Dan dengan merendah saya memohon maaf... Tidak ada tempat dalam pelayanan Gereja ini untuk mereka yang melakukan penistaan itu dan saya bertekad untuk tidak membiarkan kerusakan dilakukan atas kaum belia oleh siapapun, rohaniwan maupun tidak."
"Semua uskup harus melakukan pelayanan penggembalaan mereka dengan sangat hati-hati supaya dapat menumbuhkan perlindungan atas kaum belia, dan mereka akan diminta bertanggungjawab."
Makan malam
Enam penyintas itu menginap di Domus Santa Marta pada Minggu 6 Juli malam lalu, di mana mereka pertama-tama bertemu dahulu dengan paus sambil makan malam bersama.
Senin 7 Juli pagi kemarin, mereka dan delapan anggota Komisi Perlindungan Kaum Belia di Vatikan menghadiri misa di Santa Marta.
Sesudah sarapan dengan Paus, semua korban itu kemudian bertemu empat mata dengan Paus dan menceritakan kisah mereka masing-masing.
Paus meluangkan waktu hampir enam jam di pagi yang tegang itu bersama para penyintas. Frater Federico Lombardi memberikan komentarnya bahwa pertemuan-pertemuan yang terjadi ditandai dengan "gaya biasanya sang paus...untuk mendengarkan" sehingga para penyintas merasa bahwa mereka "didengarkan, diterima, dan dirangkul".
"Ini bukan sekadar pura-pura mendengar oleh paus... Ia adalah seseorang yang mencoba keras untuk mendengarkan... Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendengarkan... Hal itu merupakan dialog spiritual dan mendalam."
Kardinal Brady
Ketika ditanya The Irish Times soal permintaan penyintas Irlandia, Marie Kane, untuk memecat Kardinal Sean Brady sebagai Uskung Agung Armagh dan Primate di Irlandia terkait dugaan pelecehan, Frater Lombardi menolak memberikan komentar dan mengatakan bahwa isi pertemuan-pertemuan itu merupakan "masalah pribadi".
Frater Lombardi juga menambahkan bahwa pertemuan kemarin itu tidak melulu berkutat kepada "cara-cara nyata" terkait dengan penanganan pelecehan seksual tapi juga kepada ungkapan welas asih dan rasa senasib sepenanggunan.
Pertemuan kemarin didahului lontaran kritik dari kelompok penyintas di Argentina dan Amerika Serikat yang menanyakan tentang penilaian yang dipakai untuk memilih para penyintas yang akan diundang.
Di tengah kritikan tersebut, juru bicara Vatikan juga ditanyai apakah pertemuan kemarin itu bukan sekadar gerak-gerik hubungan masyarakat oleh Tahta Suci.
Frater Lombardi dengan tegas menolak anggapan itu dan mengatakan "Berulang kali kelompok itu gagal paham mengenai tujuan paus yang sesungguhnya dan saya tidak terkejut oleh pelintiran negatif mengenai pertemuan ini." (Riz)