Liputan6.com, Jakarta Meski standar kehidupan di Indonesia mengalami peningkatan, tetap saja secara nasional masih ditemukan anak-anak balita pendek, kurus, gizi kurang, dengan angka kekurangan gizi mikro yang masih tinggi presentasenya. Tentu ini cukup mengkhawatirkan. Dan, masalah ini masih menjadi fokus utama di Indonesia.
Selama masa kehamilan, seorang ibu diimbau untuk rutin melakukan perawatan kehamilan, setidaknya satu bulan sekali. Lakukanlah kunjungan bidan atau dokter, untuk mengecek apakah ibu dan bayi yang ada di dalam kandungan dalam keadaan sehat.
"Masa kehamilan adalah masa yang kritis. Di saat itu, kita dapat melihat masalah kebutuhan makan si ibu, terutama bila kondisi fisik yang tidak memungkinkan, yang membuat nafsu makan ibu menurun. Sebab, kondisi itu akan berpengaruh terhadap kondisi fisik anaknya," kata Ir. Doddy Izwardy, MA di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta, Senin (14/7/2014)
Jika ingin lebih fokus, kata Doddy, kita harus menarik ke belakang, di mana remaja putri harus mendapat pengetahuan tentang pola makan seimbang, yang berdampak baik untuk kesehatannya di masa akan datang, terlebih ketika remaja putri itu memutuskan untuk menikah, dan berencana memiliki anak.
Apalagi, remaja putri di Indonesia, berisiko mengalami anemia atau kurang darah, sama seperti yang dialami oleh para pekerja wanita pada umumnya. "Kita selama ini menyorotnya hanya ke pekerja wanita saja. Namun ternyata, remaja putri pun mengalami hal sama," kata Doddy.
Rentan anemia
Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan, memiliki sifat pemilih dan sensitif terhadap makanan dan keindahan tubuh, membuat remaja putri rentan mengalami anemia. Kebanyakan dari mereka, memilih dalam hal makanan.
"Padahal, makanan yang seimbang itu harus ada karbohidrat, protein, lemak. Tapi, kenyataannya, mereka sangat pemilih. Mereka memilih untuk mengemil dan menganut pola konsumsi yang tidak sehat," kata Doddy menjelaskan.
Doddy mengatakan, kondisi semacam inilah yang sangat dikhawatirkan. Terlebih, ketika mereka memutuskan untuk berumahtangga. Syukur, jika mereka memutuskan menikah di usia yang cukup. Yang ditakutkan, mereka justru memilih membina biduk rumah tangga saat usia tergolong dalam masa pertumbuhan dan sangat rentan.
"Dari data yang ada di kita, perempuan yang menikah di usia 15 sampai 19 tahun sangatlah banyak. Kalau pola makan masih seperti itu, saat mereka hamil, sudah dipastikan semua itu akan terbagi. Apalagi, remaja putri di usia itu masih dalam masa pertumbuhan," kata Doddy.
Doddy menekankan, usia ideal untuk remaja putri menikah adalah 20 tahun. Di mana secara fisik dan mental, mereka sudah siap. Dengan catatan, terapkanlah pola makan yang seimbang dan sehat. Agar ke depannya, mereka dapat menghindari risiko memiliki anak yang stanting.
Dari data riset kesehatan dasar (Riskesdas 2013), jumlah balita pendek sebesar 37,2 persen, balita kurus sebesar 12,1 persen, dan balita dengan gizi kurang sebesar 19,6 persen.
Tingginya angka balita pendek pada bayi dan anak usia 6 sampai 24 bulan, menunjukkan bahwa terdapat masalah kekurangan gizi pada ibu, serta praktik pemberian ASI yang belum baik, pemberian makanan pendamping ASI yang kurang tepat, dan tingkat penyakit menular yang tinggi.
Advertisement