Akademisi Minta Lembaga Survei Buka-bukaan

"Kalau KPK bilang tidak tidur, kami juga, kami ada, dan selalu terjaga," imbuhnya.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 15 Jul 2014, 12:41 WIB
Ilustrasi Quick Count Pilpres 2014 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta - Puluhan akademisi dari berbagai perguruan tinggi merisaukan perbedaan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei karena mengancam kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Karena itu, akademisi pun meminta agar lembaga survei melakukan uji publik agar ketahuan pihak mana yang mempermainkan ilmu pengetahuan, khususnya statistik.

"Kami, ilmuwan, peneliti, pekerja akademik di lembaga pemerintah dan non-pemerintah menyediakan waktu, tenaga, dan keahlian untuk melakukan uji publik terhadap hasil semua lembaga penyelenggara hitung cepat bersama dengan KPU, organisasi profesi, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, dengan transparansi pelaksanaan hitung cepat," kata akademisi dari Universitas Indonesia Prof. Sulistyowati Irianto, di UI Salemba, Jakarta, Selasa (15/7/2014).

"Kami menyatakan tidak sedang melakukan politik praktis. Kami sebagai ilmuwan harus menyatakan sesuatu karena sedang memikirkan Indonesia dan masa depannya," tambahnya.

Akademisi ITB dan pakar matematika, Hendra Gunawan, mengatakan para akademisi juga sama seperti KPK, tidak tidur dalam mengawasi jalannya Pilpres. Ia menuturkan harus keluar dari perpustakaan dan melepaskan diri dari aktivitas di depan komputer, karena ada yang bermain-main dengan ilmu pengetahuan. "Kalau KPK bilang tidak tidur, kami juga, kami ada, dan selalu terjaga," imbuhnya.

Selain itu, pakar komunikasi dari UI Ade Armando juga menjelaskan, di antara kedua kubu yang membeberkan hasil quick count, pasti ada kubu yang menyalahi aturan statistik, bisa salah secara metodologi atau pengambilan sampel.

"Salah satu kelompok pelaksana quick count nggak beres. Bisa karena nggak menguasai metodologi atau mengakali statistik alias bohong. Salah satunya sengaja menghasilkan kesimpulan quick count yang salah. Ini perlu diusut tuntas," ungkap Ade.

Ade mengimbau agar KPU perlu turun tangan karena mulai muncul bibit ketidakpercayaan pada ilmu pengetahuan. "KPU juga harus bersikap pada pengacauan proses Pemilu ini," tandasnya.

Berikut 5 seruan moral akademisi menyikapi hasil hitung cepat Pilpres 9 Juli. Pertama, kepada para penyelenggara Pemilu dan segenap perangkat pengawasan, agar memastikan penghitungan suara rakyat dengan jujur, dilandasi kehendak kuat untuk semata-mata mengutamakan keadilan bagi rakyat dan kepentingan bangsa.

Kedua, kepada insititusi penegakan hukum, khususnya Polri, agar sungguh-sungguh menyelidiki kredibilitas, rekam jejak, dan menindak tegas lembaga survei, jika diduga kuat memalsukan data dan membohongi publik. Pemalsuan data dan pembohongan publik berdampak serius dan fatal bagi keutuhan masyarakat dan masa depan indonesia. Di samping itu, Polri memberikan perlindungan dan rasa aman kepada warga masyarakat sipil yang berpartisipasi untuk membantu proses dan memantau penghitungan suara.

Ketiga, kepada para pengelola lembaga survei terkait penghitungan cepat agar melakukan uji publik validitas data dengan mengklarifikasi metode dan sampelnya.

Keempat, kepada masyarakat ilmiah, agar ikut serta mengawal penghitungan suara, mengawasi, dan memastikan agar penghitungan yang tengah berlangsung benar-benar dilakukan dengan metode yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Terakhir, kepada elit politik, agar menahan diri dan menenangkan rakyat untuk idak memprovokasi pihak lain yang berbeda pilihan politik.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya