Jadi Saksi Sidang Hambalang, Sekjen DPR Beberkan Karier Anas

Sidang kasus dugaan gratifikasi kasus Hambalang dengan terdakwa Anas Urbaningrum kembali digelar di Pengadilan Tipikor.

oleh Oscar Ferri diperbarui 21 Jul 2014, 15:53 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus dugaan penerimaan hadiah atau gratifikasi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat dengan terdakwa Anas Urbaningrum kembali digelar. Hadir sebagai saksi adalah Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti.

Dalam kesaksiannya, Winantuningtyastiti membeberkan karier Anas di DPR. Menurut perempuan yang menjabat Sekjen DPR sejak 2013 itu, Anas masuk ke DPR dari Fraksi Partai Demokrat pada 2009.

"Anas resmi (jadi anggota DPR) 15 September 2009, diambil sumpah 1 Oktober 2009," kata Winantuningtyastiti yang kerap disapa Winan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (21/7/2014).

Winan yang pernah menjabat sebagai Deputi Sekjen DPR Bidang Anggaran dan Pengawasan 2005-2013 ini mengatakan, saat itu Anas duduk di Komisi X DPR. Selang 11 hari kemudian atau 12 Oktober 2009 Anas juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat.

"Di DPR Pak Anas duduk di Komisi X. Sebagai Ketua Fraksi Demokrat sejak 12 Oktober 2009," ujar Winan.

Namun, Anas mengundurkan diri dari DPR setelah terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat di Kongres Bandung 2010. Dia juga meletakkan jabatannya sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat dan fokus ke mengurusi DPP Partai Demokrat sebagai Ketua Umum.

Dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Anas Urbaningrum menerima hadiah atau gratifikasi berupa satu unit mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp 670 juta dan satu unit mobil Toyota Vellfire B 69 AUD senilai Rp 735 juta. Bekas Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) itu juga didakwa menerima uang sebesar Rp 116,525 miliar dan US$ 5,261 juta.

Tidak sampai di situ, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu juga didakwa menerima fasilitas survei pemenangannya secara gratis dari PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI) sebesar Rp 478,632 juta. Anas juga didakwa melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 20,8 miliar dan Rp 3 miliar.

Dalam dakwaan Jaksa juga disebutkan bahwa Anas berkeinginan untuk menjadi Presiden RI ketika keluar dari KPU pada 2005. Demi tujuan itu, Anas didakwa menghimpun dana sebanyak-banyaknya bersama mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dengan mendirikan Grup Permai untuk menangani sejumlah proyek negara yang menggunakan dana ABPN.

Atas perbuatannya, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu didakwa dengan Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana. (Yus)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya