Liputan6.com, Jakarta Indonesia Institute for Constitutional Democracy (IICD) atas nama Indry Oktaviani, Fr. Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Supriyadi W. Eddyono, Kuasa Hukum Para Pemohon dari IICD, menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan menjadi legitimasi untuk membolehkan perkawinan anak di Indonesia.
Advertisement
Pasal 7 UU Perkawinan
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan Pasal terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 24 ayat (1), 28B ayat (2), 28C ayat (1), 28D ayat (1), 28I ayat (1) UUD 1945. Selain itu ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan ini Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR), Konvensi Hak Anak (CRC), dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
Hukum Nasional dan juga Hukum Internasional mensyaratkan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan diperlukan adanya persetujuan yang bebas dan penuh dari kedua pasangan.
Bentuk pelanggaran
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional juga mengakui dengan tegas bahwa persetujuan untuk kawin tidak dapat dikatakan "bebas dan penuh” ketika salah satu pihak yang terlibat tidak cukup matang untuk membuat keputusan tentang pasangan hidup.
Perkawinan anak (di bawah 18 tahun) yang diperbolehkan berdasarkan UU Perkawinan merupakan suatu bentuk pelanggaran hak, karena anak terlalu muda untuk membuat keputusan tentang pasangan perkawinan mereka atau tentang implikasi dari perkawinan itu sendiri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, persetujuan dari pengantin laki-laki dan perempuan bahkan didefinisikan sebagai, “Persetujuan dari pengantin perempuan dapat berupa pernyataan tegas dalam bentuk pernyataan tertulis atau lisan, atau gerakan, tetapi juga dapat diam saja, yang dapat ditafsirkan sebagai tidak ada penolakan yang tegas”
Supriyadi W. Eddyono menjelaskan bahwa keberadaan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Perkawinan secara langsung mengakibatkan dirampasnya hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan, dan juga mengakibatkan banyaknya kasus pemaksaan perkawinan anak.
Erasmus Napitupulu, salah satu kuasa hukum dari IICD, juga mengingatkan bahwa Perkawinan Anak dapat memberikan konsekuensi serius terhadap kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi anak perempuan. Perempuan yang hamil pada usia kurang dari 17 tahun akan meningkatkan resiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak, yang pada akhirnya memiliki korelasi positif terhadap tingginya angka kematian ibu di Indonesia.
Untuk itu, IICD atas nama Para Pemohon, meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengubah frasa “16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dan juga menyatakan Pasal 7 ayat (2) bertentangan dengan Konstitusi.
Advertisement