Ayi Ayo Onam, Mengingat Kematian Saat Lebaran

Selain memperbaiki ibadah, mendatangi makam dan mendoakan arwah orang yang telah meninggal merupakan bentuk amal ibadah.

oleh M Syukur diperbarui 05 Agu 2014, 08:05 WIB
pemakaman umum

Liputan6.com, Kampar - Bagi masyarakat Bangkinang, Kabupaten Kampar, Riau, setiap 8 Syawal merupakan puncak perayaan Lebaran Idul Fitri. Perayaannya lebih meriah ketimbang 1 Syawal, di mana bagi orang asli Kampar akan merasa rugi kalau tidak mengikuti tradisi ini.

Perayaan hari dengan istilah Ayi Ayo Onam ini dimulai dengan ziarah ke makam, Senin 4 Agustus pagi. Ribuan masyarakat dari berbagai kelurahan akan mendatangi setiap makam yang ada.

Setiap kelurahan membentuk rombongannya sendiri dan mengunjungi sekurangnya 20 makam. Mereka berjalan kaki dan menyelesaikan ziarahnya selama 6 jam.

Menurut pimpinan rombongan ziarah dari Kelurahan Langgini Abuya Annas, mengunjungi kuburan sebagai rutinitas tahunan bukan untuk mensakralkan.

"Ini bagian tradisi masyarakat Bangkinang, Kampar, untuk mengingat bahwa ada kehidupan lain setelah di dunia ini. Dengan mengingat saudara kita yang telah dahulu, kita bisa meningkatkan amal untuk persiapan kematian," kata Abuya kepada rombongan.

Selain memperbaiki ibadah, mendatangi makam dan mendoakan arwah orang yang telah meninggal merupakan bentuk amal ibadah.

Selama ziarah, masyarakat diimbau untuk menghormati lingkungan makam. Di antaranya, mengucapkan salam saat memasuki makam, tidak duduk di atas makam, tidak berisik, dan tidak mengotori makam.

Ajang Silaturahmi

Momentum ziarah ini juga dijadikan ajang silaturahmi. Sebab, rombongan satu dengan yang lainnya selalu berpapasan dan saling bersalaman untuk saling meminta maaf.

Terik matahari tidak menyiutkan semangat para rombongan untuk menyudahi ziarah, hingga ke makam terakhir. Jalan kaki dan menyebrangi sungai memakai rakit pun tidak menjadi rintangan.

Selesai berziarah, rombongan berkumpul di masjid-masjid dan lapangan terbuka. Di sana sudah disajikan beragam menu makanan untuk santap siang, yang disiapkan kaum ibu.

Selama makan siang, keakraban dan silaturahmi rombongan peziarah kian terjalin. Hal serupa juga terjadi kaum ibu-ibu. "Inilah hari raya yang selalu ditunggu dan tidak boleh dilewatkan. Kalau tidak ikut, sangat terasa sekali kekurangannya," kata seorang ibu, Kasmawati.

Menurutnya, tradisi ziarah dan makan bersama ini sudah berlangsung sejak lama.  Dari kecil sampai sekarang, ia mengaku tidak pernah melewatkan tradisi ini, sebab kemeriahannya melebihi Lebaran Idul Fitri.

"Kemeriahannya lebih terasa dari pada 1 Syawal," ujar perempuan berumur 50 tahun ini.

Selama berziarah ini berlangsung, jalanan di Kota Bangkinang pun macet. Kondisi jalanan yang sempit dan banyaknya rombongan peziarah yang mencapai ribuan orang menjadi penyebab kemacetan ini. Namun, masyarakat di Bangkinang selalu setia menanti momen ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya