Sopir Angkutan Umum Enggan Beralih ke Solar Non Subsidi

Sejumlah sopir mengeluhkan harga solar non subsidi yang lebih mahal dan tidak cocok untuk mesin angkutan umum.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 06 Agu 2014, 19:15 WIB
Kebijakan ini dilatarbelakangi turunnya kuota subsidi BBM di APBN-P 2014 dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter, Senin (4/8/14). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar yang dihentikan untuk wilayah Jakarta Pusat dan pembatasan penjualan pada pukul 18.00 sampai 08.00 di luar Jakarta Pusat, tak lantas membuat para supir angkutan umum beralih untuk memakai solar non subsidi.

Indra (40) sopir metro mini Pasar Senen-Bendungan Jago mengatakan, jika pihaknya beralih ke solar non subsidi maka secara otomatis pengeluarannya akan membengkak. Hal itu mengingat harga solar non subsidi Rp 12.800 per liter. Harga itu jauh dari harga solar bersubsidi yang hanya Rp 5.500 per liter.

Dengan peningkatan tersebut, secara otomatis pula akan meningkatkan tarif penumpang. Ia menceritakan, untuk tarif yang dibebankan sebanyak Rp 3.000, para penumpang saja banyak yang mengeluh.

"Rp 3.000 aja kasihan. Kadang trek jauh bayarnya juga semaunya," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Rabu (6/8/2014).

Tak hanya harga yang mahal, menurut dia bahan bakar solar non subsidi seperti Pertamina Dex juga dinilai tak cocok untuk mesin angkutannya. "Dex itu nggak bagus, cepat hancur diesel," lanjutnya.

Senada dengan Indra, Sohibun (56) sopir angkutan Senen-Pulogadung mengatakan, pihaknya  tak mampu jika harus beralih ke solar non subsidi. Dia mengatakan, jika beralih ke solar non subsidi akan merogoh kantong lebih dalam yang berimbas pada kenaikan tarif penumpang.

Padahal, kata Sohibun dengan harga yang dipatok murah saat ini saja penumpang sudah mulai sepi karena kalah saing dengan angkutan pribadi. "Begini aja sudah berat, saingan beratnya sama motor," ujar dia. (Amd/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya