Pertamina Bakal Naikkan Harga Elpiji 12 Kg Bulan Ini

kerugian yang diderita perusahaan jika tidak menaikkan harga elpiji 12 kg pada bulan Agustus ini bisa mencapai Rp 6,1 triliun.

oleh Arthur Gideon diperbarui 13 Agu 2014, 11:43 WIB
Ilustrasi Gas Elpiji 12Kg Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Bintan- PT Pertamina (Persero) berencana menaikkan harga elpiji antara Rp 1.000 per kilogram (kg) hingga Rp 1.500 per kg pada bulan ini. Opsi kenaikan harga diambil karena Pertamina terus menanggung kerugian karena menjual elpiji 12 kg di bawah harga keekonomian.

Operation Manager Domestic Gas Pertamina, Chairul Alfian Adin menyatakan, kerugian yang diderita perusahaan jika tidak menaikkan harga elpiji 12 kg pada bulan Agustus ini bisa mencapai Rp 6,1 triliun.

Nilai kerugian yang diderita Pertamina tersebut karena patokan harga gas dunia terus mengalami peningkatan. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah juga menjadi beban tambahan karena selama ini mereka melakukan impor gas.

Untuk diketahui, harga patokan gas di CP Aramco pada Juni kemarin berada di posisi US$ 886,12 per metrik ton dan nilai tukar rupiah terhadap dolar di level Rp 11,733 per dolar AS.

Hingga Juni 2014, kerugian yang diderita Pertamina dalam bisnis gas 12 kg tercatat Rp 2,85 triliun.

"Jika ada kenaikan harga di agustus ini di kisaran Rp 1.000, nilai kerugiannya berkurang antara Rp 500 miliar menjadi Rp 5,6 triliun," kata dia di Depot LPG Tanjung Uban, Bintan, Kepulauan Riau, Rabu (13/8/2014).

Chairul mengatakan, bisnis penjualan elpiji 12 kg yang mereka jalani terus mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Dalam catatan perusahaan, pada 2009 Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp 1,1 triliun. Di tahun berikutnya, nilai kerugian tersebut meningkat menjadi Rp 2,1 triliun.

Di 2011, bisnis penjualan gas 12 kg tetap mengalami kerugian sebesar Rp 3,4 triliun dan tahun 2012 kerugian yang diderita mereka sebesar Rp 4,7 triliun. "Sedangkan untuk tahun kemarin kerugian kami mencapai Rp 5,7 triliun," jelasnya.

Saat ini, pelaksanaan kebijakan itu masih  menunggu persetujuan pemerintah sebagai pengendali. (Gdn/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya