Dari Lamongan Menjadi Martir ISIS

Kepergiannya ke Mesir inilah yang kemudian membawa Wildan bergabung dengan ISIS. Selama di Mesir, dia hanya menghubungi keluarganya 5 kali.

oleh Sunariyah diperbarui 15 Agu 2014, 00:51 WIB
Ilustrasi ISIS Iraq

Liputan6.com, Lamongan - Oleh: Sunariyah, Ahmad Romadoni, dan Edward Panggabean.

 

Memimpikan mati syahid, Wildan Mukhollad akhirnya berhasil mewujudkan cita-citanya meregang nyawa di Suriah. Pemuda asal Lamongan, Jawa Timur, itu tewas setelah mengeksekusi dirinya sendiri dengan bom bunuh diri.

Aksi nekat itu dilakukan setelah anak pasangan suami istri almarhum H Amin dan Fadilah itu bergabung dengan kelompok garis keras Negara Islam Irak-Suriah (ISIS).

"Dia cita-cita memang syahid di sana," kata kakak Wildan, Muhammad In'am, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (14/8/2014).

In'am menuturkan, adiknya memilih syahid di negara yang tengah dilanda konflik karena tak mau merepotkan negara. "Dia nggak mau ngerepotin bangsa. Jadi dia lebih pilih syahid di sana. Setiap disuruh pulang pasti nggak mau," lanjut dia.

Sikap keras Wildan untuk pergi ke daerah konflik dan ahirnya bergabung dengan ISIS, tak bisa dihentikan keluarga.

"Jadi intinya dia ingin memerangi zionis. Tidak peduli tempatnya di mana. Mungkin kalau tidak ketemu ISIS pasti dia sudah ke Palestina," tandas In'am.

Keterlibatan pemuda kelahiran 1995 itu dengan gerakan ISIS terjadi setelah Wildan, yang dikenal pandai dan hafal Alquran, melanjutkan sekolahnya di Al-Azhar, Mesir pada 2013.

"Awalnya kita nggak bolehin juga ke Mesir. Tapi dia kemauannya keras dia kepingin itu. Akhirnya dengan terpaksa kita izinin," ungkap In'am.

Kepergiannya ke Mesir inilah yang kemudian membawa Wildan bergabung dengan ISIS. Selama di Mesir, dia hanya menghubungi keluarganya 5 kali, Setelah itu menghilang bak ditelan bumi.

"Jadi sekolah 1 Aliyah di Al-Azhar sana, setelah itu menghilang," ungkap In'am.

Menurut penuturan sang kakak, Wildan terlibat jaringan ISIS sejak setahun lalu. Sampai akhirnya, dia dan keluarganya mendapat kabar bahwa Wildan telah tiada dengan menjadi martir ISIS, dari seorang teman yang dirahasiakan namanya.

"Adalah. Biasanya kalau seperti itu ada pihak yang terus kabari keluarga," ujar In'am saat ditanya siapa yang mengabari kematian Wildan dalam aksi bom bunuh diri tersebut.

Ketika kabar kematiannya tiba pada 14 Februari 2014, keluarga Wildan hanya bisa pasrah. Mereka hanya bisa mengingat wasiat Wildan agar mengikhlaskan kepergiannya. "Dia selalu bilang, ikhlaskan saya, saya nggak mau pulang, saya nggak mau merepotkan keluarga di rumah dan aparat kepolisian," kenang In'am.

Menurut In’am, dalam setiap komunikasi dengan keluarga, Wildan selalu menyampaikan keteguhan hatinya menjalankan keputusannya 'berjihad' di Timur Tengah. Dia bahkan sempat heran mengapa belum juga mati dalam perang.

"Dia bilang, saya kok belum meninggal juga, hanya saya sendiri yang belum syahid," ungkap In'am meniru ucapan adiknya. Wildan bercerita, rekan seperjuangannya tak hanya dari Asia atau negara Islam. Banyak juga dari Eropa dan Amerika yang ikut kelompok ekstrem itu.

Berdasarkan informasi yang didapat keluarganya, Wildan sudah masuk jajaran elite di kelompok radikal yang konon dibentuk Amerika Serikat itu. Bahkan Wildan disinyalir sudah bisa membuat bom.

"Informasi yang saya dapat di sana, dia sudah level atas di ISIS. Sudah bisa gunakan granat dan sudah bisa bikin bom," ujar In'am.

Meski sangat menyesalkan keputusan adiknya itu, In'am tetap percaya itu merupakan jalan terbaik yang diberikan Tuhan kepada Wildan. "Kita kan nggak tahu, apa yang dikatakan jelek oleh orang belum tentu jelek di mata Allah kan," demikian In'am.

Sebelum hijrah ke Mesir, Wildan tinggal di Lamongan dan menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Islam Lamongan. Pondok pesantren ini pernah digeledah habis-habisan oleh aparat karena diduga terkait kasus bom yang didalangi gembong teroris Amrozi, pelaku Bom Bali I yang dieksekusi mati oleh aparat pada 9 November 2008.

"Dia sempat mondok di Pesantren Al-Islam yang miliknya Amrozi," kata Ni’am.

 

Perang Melawan ISIS

Foto dok. Liputan6.com

Nama Wildan muncul setelah Kapolri Jenderal Sutarman mengatakan setidaknya 56 warga negara Indonesia (WNI) berada di Suriah dan menjadi pendukung ISIS. Dari jumlah itu, 4 orang dinyatakan telah tewas di negeri  yang tengah dilanda konflik itu.

"Ada 4 WNI meninggal di sana. Ada yang (karena) bom bunuh diri," ungkap Kapolri. Dia mengungkapkan, para WNI itu masuk ke Suriah  melalui jalur negara kedua dan ketiga.

"Ada yang melalui negara kedua dan ketiga masuk ke sana (Suriah), tapi ada yang sengaja dari Indonesia berniat ke sana, tapi tidak langsung dari Indonesia ke Suriah. Ini menggunakan daerah-daerah lain," kata Sutarman di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (14/8/2014).

Terkait kasus ini, Polri menyatakan perang melawan ISIS. " Polri bersama seluruh elemen bangsa bersama-sama memerangi (kegiatan ISIS) dan penegakan hukum yang tegas kepada kelompok ini sehingga aman dari teror," Ucap Sutarman.

Beberapa langkah yang diambil Polri untuk menekan penyebaran ISIS di Tanah Air yakni bekerja sama dengan Imigrasi untuk mendeteksi WNI yang dicurigai datang maupun pergi dari Irak dan Suriah. "Kita pesan harus diperhatikan betul, sebab kewenangan ada di keimigrasian," tandas Sutarman.

Tak hanya itu, Mabes Polri juga telah memetakan kelompok-kelompok garis keras yang gerakannya diduga berafiliasi dengan ISIS.

"Semua yang terafiliasi selama ini adalah kelompok garis keras yang ada di Indonesia dan petanya sudah ada di kepolisian. Kita ikuti terus," tegas Sutarman. Dia melanjutkan, akan menindak secara hukum kelompok yang mengajarkan paham dengan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.

Polri juga mencegah menyebar luasnya ISIS dengan memerintahkan jajarannya untuk menargetkan dan terus mengejar teroris kelas wahid Santoso, berikut jaringannya. Langkah ini diambil, karena mereka diketahui telah berbaiat ke ISIS.

Selain itu, Polri juga menghentikan pengiriman logistik kepada Santoso.

"Kita sudah melakukan langkah-langkah untuk mencegah dan menyetop logistik ke Santoso, baik logistik yang diperoleh dengan cara merampok yang sudah pernah ditangkap, ini bisa diikuti terus," ujar Sutarman.

Menurut sang kakak, Ibunda Wildan shock mendengar kematian anaknya. Perempuan itu hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebagai kakak tertua, In’am hanya bisa menenangkan ibunya.

In'am sendiri geram dengan ISIS. Dia berharap, pemerintah segera bertindak untuk menekan pergerakan ISIS di Indonesia. Jangan sampai jaringan ini meluas dan membahayakan Indonesia.

"Saya sendiri tidak suka radikal seperti itu. Jadi saya minta pemerintah melakukan tindakan persuasif. Datang ke mereka-mereka, dialog, ke keluarga juga seperti itu. Karena saya khawatir ISIS kayak Al-Qaeda dan bikin masalah di Indonesia," tandas dia. (Ans)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya