Lika-liku Perumusan Teks Proklamasi

Sukarno, Hatta, Ahmad Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik menuju sebuah ruangan di lantai satu. Mereka hendak merancang naskah proklamasi.

oleh Yus Ariyanto diperbarui 17 Agu 2014, 07:55 WIB

Liputan6.com, Jakarta - 17 Agustus 1945, lewat tengah malam. Di rumah Laksamana Maeda, petinggi Angkatan Laut Jepang, berkumpul puluhan orang. Termasuk, Sukarno dan Mohammad Hatta. Rumah itu terletak di sebuah jalan yang kini bernama Jl Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.

Sang empunya rumah telah menyingkir ke lantai atas untuk beristirahat. Sukarno, Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, Sukarni, dan Sayuti Melik menuju sebuah ruangan di lantai satu. Mereka hendak merancang naskah proklamasi.

"Aku persilakan Bung Hatta menyusun teks ringkas itu sebab bahasanya kuanggap yang terbaik. Sesudah itu kita persoalkan bersama-sama. Setelah kita memperoleh persetujuan, kita bawa ke muka sidang lengkap yang sudah hadir lengkap," kata Sukarno seperti dikutip Hatta dalam memoarnya.

"Apabila aku mesti memikirkan, lebih baik Bung menuliskan, aku mendiktekan," jawab Hatta.

Versi cerita berbeda datang dari Subardjo. Sukarno bertanya ke Subardjo, "Masih ingatkah Saudara teks dari Pembukaan Undang-undang Dasar kita?" Subardjo adalah teman Hatta sejak masa sekolah di Belanda dan belakangan pernah menjadi menteri luar negeri RI.

"Ya, masih ingat tapi tidak seluruhnya," balas Subardjo seperti diungkap kembali dalam buku Lahirnya Republik Indonesia. Ia pun kemudian mendiktekan ke Sukarno.

Akhirnya, disepakati kalimat pertama itu berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia."

Belum selesai. Hatta menganggap, kalimat itu kurang memadai. Harus juga disusupkan soal "cara menyelenggarakan" revolusi nasional. Maka, Hatta mendiktekan kalimat berikut: "Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Didampingi Sukarni, Sajuti yang merupakan salah seorang tokoh pemuda, kemudian mengetik naskah tersebut dari tulisan tangan Sukarno.

Saat itu bulan Ramadan. "Sementara teks ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur...waktu hampir habis untuk ber-saur..." kenang Subardjo.

Usai ditik, sekitar pukul 04.00, naskah itu dibawa ke para hadirin untuk dibacakan dan mendapatkan persetujuan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya