Liputan6.com, Jakarta - Seorang pria berkulit putih dengan baju dan celana berwarna oranye terlihat berlutut di samping seorang prajurit berpakaian serba hitam dan mengenakan penutup wajah dengan latar belakang padang pasir yang kosong. Tak ada tanda-tanda kehidupan di belakang mereka, seperti wajah tanpa asa yang diperlihatkan si pria berbaju oranye.
Tangan kiri prajurit yang diidentifikasi sebagai anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu memegang sebuah pisau, sedangkan di pinggang sebelah kiri terlihat pistol yang tergantung di dalam sarungnya.
Pria berpakaian oranye yang tangannya diyakini terikat itu kemudian membaca sebuah pesan yang besar kemungkinan ditulis oleh pihak yang menahannya. Dalam bagian pesan itu dia antara lain dia berharap terbebas dari sang penculik.
"Aku berharap masih punya waktu. Masih punya harapan bebas untuk bertemu keluargaku sekali lagi," demikian kata-kata terakhir dari pria yang belakangan diketahui seorang jurnalis berkebangsaan Amerika bernama James Foley.
Namun, harapan Foley tak akan pernah terwujud. Tak lama setelah dia selesai membaca pesan tersebut, adegan kejam dan sadis dipampangkan tanpa ditutup-tutupi. Kepala Foley dipenggal oleh si prajurit.
Paparan kekejaman dalam video yang diunggah di kanal YouTube pada Selasa 19 Agustus lalu itu cukup membuat mual, bergidik, dan menimbulkan amarah. Tingkah kelompok garis keras ISIS semakin memperlihatkan kalau mereka tak punya nurani dan menganggap semua orang di luar kelompoknya sebagai musuh, karena sejatinya tak ada alasan untuk membunuh Foley.
Foley tumbuh besar di New Hampshire. Ia adalah lulusan Medill School of Journalism Northwestern University pada 2008. Seperti jurnalis muda lain yang bernyali, setelah serangan teror 11 September 2001 dan perang Amerika di luar negeri, ia memburu berita hingga Irak, Afghanistan, dan zona konflik lainnya.
Namun, Foley dikabarkan menghilang pada 22 November 2012 di barat laut Suriah, dekat perbatasan dengan Turki. Ia dilaporkan dimasukkan secara paksa ke dalam kendaraan oleh pria-pria bersenjata. Sejak saat itu jurnalis yang bekerja untuk situs online AS, GlobalPost dan kerap menulis untuk Kantor Berita Prancis AFP itu tak terdengar kabarnya.
Meski bukan pihak yang sedang diperangi ISIS, prajurit berpakaian hitam dalam video itu mengatakan bahwa hal itu mereka lakukan sebagai peringatan untuk AS. ISIS juga mengklaim bahwa Foley ditangkap mereka di Suriah pada akhir 2012 lalu.
"Hal itu sebagai pembalasan atas serangan udara AS baru-baru ini terhadap kelompok ISIS di Irak," kata militan ISIS itu.
Dalam video ISIS lainnya, seperti dikutip CNN, Rabu 20 Agustus 2014, juga terlihat jurnalis AS lain. Nyawanya, kata seorang militan dengan bahasa Inggris beraksen British, tergantung dari apa yang akan dilakukan Presiden AS Barack Obama.
Jurnalis tersebut diyakini sebagai Steven Sotloff, yang diculik di perbatasan Suriah-Turki pada tahun 2013. Dia adalah kontributor Time dan Foreign Policy.
Bahkan, Komite Perlindungan Jurnalis atau Committee to Protect Journalists memperkirakan ada sekitar 20 wartawan yang hilang di Suriah dan kebanyakan ditahan ISIS. Di antara mereka juga ada Austin Tice, jurnalis lepas yang mengirimkan artikelnya ke Washington Post. Ia menghilang pada Agustus 2012.
Militan juga mengancam akan menghabisi nyawa warga AS lain, jika Presiden Obama tak mengakhiri operasi militernya di Irak yang sejauh ini telah membantu pasukan Kurdi merebut kembali sejumlah wilayah yang dikuasai ISIS.
Ancaman itu menyertai sebuah pernyataan lainnya dalam Bahasa Inggris yang disampaikan ISIS di Twitter menggunakan hashtag #AmessagefromISIStoUS. Bunyinya: "we will drown all of you in blood" (Kami akan menenggelamkan kalian semua dalam darah).
Kendati membawa nama Islam, ISIS bukanlah organisasi yang mencirikan perilaku seperti nama agama yang dibawanya. ISIS sepertinya hanya mengenal kelompoknya beserta gagasan mengerikan akan sebuah negara dengan menghalalkan pembunuhan dan penghancuran.
Misalnya, kelompok ini tak sungkan menghancurkan kuil, masjid atau gereja yang ada di Irak. Mereka juga telah mengusir paksa puluhan ribu warga Nasrani di Irak yang selama ini hidup dengan rukun dan damai di Irak. Sedangkan kepada warga lainnya, ancaman kematian pun ditebar.
Tak mengherankan, jika ulama besar Arab Saudi Sheikh Abdul Aziz al-Sheikh mengatakan kelompok ISIS yang tengah melebarkan sayap kekuasaannya itu merupakan musuh nomor 1 bagi umat Islam.
"Pemahaman yang ekstrem, radikalisme, dan terorisme dan itu jelas bukan merupakan ajaran Islam. Mereka adalah musuh nomor wahid bagi umat Islam," ujar Sheikh Abdul Aziz al-Sheikh, seperti dimuat Al-Arabiya, Selasa 19 Agustus 2014.
Tokoh agama tertinggi di Arab Saudi itu mencontohkan salah satu hal yang tidak bisa dibenarkan dan tak sesuai dengan ajaran Islam, yakni ISIS mengklaim sebagai khalifah dan merebut sejumlah wilayah dari Irak dan Suriah secara brutal.
Karena itu pula, untuk memberangus teroris seperti ISIS, Pemerintah Arab Saudi mengucurkan dana ke Pusat Kontraterorisme PBB (UNCCT) senilai US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,1 triliun.
"Terorisme merupakan kejahatan yang harus diberantas melalui upaya bersama dalam lingkup internasional. UNCCT merupakan satu-satunya pihak yang berwenang untuk memerangi terorisme internasional," ujar Duta Besar Arab Saudi di Amerika Serikat, Adel al-Jubeir di Markas PBB, New York.
ISIS memang layak disebut teroris. Dengan tujuan utama menebar teror dan merampas hak hidup orang lain, kelompok ini menyasar semua orang, bahkan terhadap pihak-pihak yang sama sekali tidak memposisikan diri sebagai lawan.
Wajar kalau kemudian ibunda dari Foley, Diane, mempertanyakan hubungan pembunuhan terhadap anaknya serta penculikan jurnalis lainnya dengan niat ISIS memerangi AS.
"Kami mohon para penculik untuk melepaskan para sandera yang tersisa. Seperti Jim, mereka tak bersalah. Mereka tak punya kekuatan apa pun terkait kebijakan pemerintah AS di Irak, Suriah, atau di mana pun di seluruh dunia," tulis Diane di media sosial.
Diane juga mencurahkan perasaannya tentang sang anak yang meregang nyawa di negeri orang. Apa yang telah dilakukan Foley dengan profesinya menurut Diane adalah sesuatu yang mulia.
"Tak ada kata yang bisa mewakili kebanggaan kami atas Jim. Dia mengorbankan hidupnya untuk menyampaikan pada dunia soal penderitaan rakyat Suriah. Kami berterima kasih pada Jim untuk semua kegembiraan yang telah ia berikan pada kami. Dia adalah putra, saudara, jurnalis, dan seorang individu yang luar biasa," tulisnya.
Foley bukanlah jurnalis pertama yang menjadi korban kelompok teroris. Banyak sudah nyawa para pemburu berita berakhir tragis di tangan para penculiknya yang tak lain kelompok garis keras di suatu negara.
Yang masih kerap diingat dan dikenal dunia adalah tewasnya jurnalis Wall Street Journal, Kepala Biro Asia Selatan bernama Daniel Pearl yang bertugas di Pakistan melakukan investigasi terkait kelompok Al-Qaeda.
Pada 23 Januari 2003, Daniel menghilang setelah mengadakan pertemuan dengan Syeikh Gilani, seorang pentolan teroris Pakistan, di Karachi. Istrinya yang sedang hamil, Mariane Pearl, bersama kolega sesama jurnalis Wall Street Journal yang bekerja di Pakistan, Asra Nomani bersama-sama mencari keberadaan Daniel dibantu para pihak berwenang dari Pakistan dan Amerika Serikat.
Beragam proses negosiasi dilakukan, pihak penculik meminta Amerika Serikat untuk membebaskan semua tahanan Pakistan yang dianggap teroris. Mereka juga mengirimkan foto Daniel yang diborgol dengan pistol diarahkan di kepalanya sebagai ancaman.
Setelah 9 hari diculik, Pearl dipenggal. Proses itu direkam oleh penculik dalam sebuah video seperti dilakukan terhadap Foley. Beberapa bulan kemudian, bagian-bagian tubuhnya yang dimutilasi ditemukan di wilayah Gadap, 48 kilometer sebelah utara Karachi.
Kisah Daniel Pearl kemudian diabadikan oleh Mariane dalam memoar berjudul A Mighty Heart. Bagaimana perasaan Marianne saat mendapat kiriman video berisi pembunuhan atas suaminya digambarkan dengan sangat menyentuh oleh Angelina Jolie dalam film berjudul sama yang diadaptasi dari memoar tersebut dan diproduksi pada 2007.
Tentu video Foley dan Daniel tak akan membuat kelompok ISIS bergidik, karena memenggal kepala orang tak berdosa sudah menjadi alat untuk mencapai tujuan bagi mereka. Padahal, menebar ketakutan dan ancaman serta janji akan sebuah kehidupan bahagia di masa depan yang diawali dengan teror jelas sebuah omong kosong.
Intinya, gambaran ISIS akan sebuah masa depan hanya ilusi, karena tak ada manusia yang waras akan membanggakan serta mempertontonkan seorang manusia memenggal manusia lainnya. Tak terbantahkan, ISIS dan semua sepak terjangnya telah merusak akal sehat dan nurani kita akan kemanusiaan. (Ans)
Advertisement