Liputan6.com, Jakarta - Presiden terpilih Joko Widodo atau Jokowi meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Namun ditolak dengan alasan waktunya tidak tepat. Jokowi pun mengaku rela tidak populer jika dirinya yang memberlakukan kebijakan itu.
Sikap Jokowi ini berbeda dengan histori partai pendukungnya, PDI Perjuangan. Dalam 10 tahun terakhir berada di luar pemerintahan, PDIP selalu menolak keras kebijakan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi.
Apakah kini PDIP tidak konsisten karena Jokowi merupakan jagoan PDIP? Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menepis dugaan tersebut.
"Bukan berarti ketika kami masuk (pemerintahan). Kami berkalkulasi secara nyata. Jangan bilang kami tidak konsisten. Kalau kenyataannya subsidi dibiarkan, penyediaan BBM membuat rakyat antre dan sebagainya," kata Megawati di Posko Tim Kampanye Nasional (TKN) Jalan Sisingamangaraja, Jakarta, Jumat (29/8/2014).
Mega pun menegaskan, selama 10 tahun di luar pemerintahan, bukan berarti partainya bersikap layaknya oposisi. Meski bukan oposisi, PDIP tetap memantau kinerja pemerintahan hingga tingkat bawah.
"Kami itu bukan oposisi, makanya mesti tahu konstitusi kami itu berada di luar kabinet. Karena di tingkat provinsi dan kabupaten pemilihan langsung dan kami ada. Kami bersikap tidak pernah oposisi," tegas Mega.
Menurut Mega, pada saat pemerintahan SBY, kenaikan harga BBM sebetulnya bisa ditahan dengan mempertimbangkan opsi lain. Karena itu partainya menolak keras kenaikan harga BBM pada saat pemerintahan SBY.
"Pada waktu itu kenyataan bisa ditahan dalam subsidi. Ya kami akan katakan, ini loh reason-nya," ucap Mega. (Sss)
Advertisement