Liputan6.com, London - London di musim panas 1666, ibukota Inggris itu rentan terbakar secara emosi juga fisik.
Kala itu, hubungan dengan kerajaan sangat tegang. Saat berlangsungnya Perang Sipil pada 1642-1651, kota itu adalah markas kubu Republikan dan menjadi ancaman bagi raja berkuasa, Charless II. Britania Raya juga sedang berperang dengan Prancis dan Belanda. Xenofobia -- ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang asing pun merebak, yang makin dikobarkan oleh api.
Advertisement
Secara fisik, terpampang nyata tata kota yang kacau balau. Pemukiman kumuh, jalan yang sempit dan berkelok, gang-gang berbatu membelah rumah-rumah kayu yang semrawut. Kebakaran jadi peristiwa biasa.
Sebuah ramalan masa depan suram London membayangi selama bertahun-tahun: kota itu akan hancur oleh api...
Salah satunya dari Daniel Baker, pada 1559 ia telah meramalkan kehancuran London oleh kobaran api. Demikian Liputan6.com kutip dari BBC, Senin 1 September 2014. Sementara pada April 1665, Sang Raja telah memperingatkan Walikota London akan bahaya laten jalan-jalan sempit dan rumah-rumah kayu.
Namun, bukan api yang paling ditakutkan warga London kala itu. Melainkan, wabah yang melanda tahun 1665 dan diperkirakan telah merenggut nyawa sekitar 80.000 orang.
Namun, prediksi itu akhirnya terjadi...
Minggu, 2 September 1666 dini hari, percikan api muncul dari rumah rumah Thomas Farynor, tukang roti sang raja di Pudding Lane, dekat London Bridge.Sekitar pukul 02.00, salah satu pekerja mencium bau asap dan membangunkan seluruh penghuni rumah -- yang langsung melarikan diri, melompat ke atap bangunan sebelah. Seorang pembantu tertinggal. Dia yang saking ketakutannya tak mampu bergerak, menjadi korban tewas pertama.
Kebakaran dengan cepat meluas, dalam hitungan jam, Walikota London, Sir Thomas Bloodworth, dibangunkan dari tidurnya yang lelap. Ia panik berat dan tak bisa mengambil keputusan cepat. Para petugas menyarankan pembongkaran bangunan untuk menghentikan api, Pak Walikotai menolak dengan alasan pemilik bangunan belum ditemukan. Saat didesak, ia emosi. "Minum! Kemudian suruh para wanita mengencinginya!", tukas dia, lalu ngacir.
Fajar menjelang, London Bridge mulai terbakar. Ada kekhawatiran saat itu bahwa api akan melintasi jembatan tersebut dan kawasan Sothwark di sisi selatan, namun bahaya ini dapat dihindari dengan adanya ruang terbuka antara bangunan di atas jembatan yang berfungsi sebagai sekat api
Sementara, warga London panik. Mereka pindah tempat 4 sampai 5 kali dalam sehari, menghindari jilatan api. Saat sadar satu-satunya cara adalah ke luar dari kota, orang-orang berdesakan di gerbang sempit di pintu-pintu keluar dan dengan putus asa berusaha keluar membawa buntelan harta. Berjalan kaki, bersesakan di gerobak, naik kereta kuda. Lainnya, melemparkan barang ke sungai dan berebut naik perahu.
"Itu pemandangan kebinasaan yang paling menyedihkan yang pernah kulihat," tulis aristokrat Inggris, Samuel Pepys dalam memoarnya.
Sementara penulis Inggris, John Evelyn melukiskan penderitaan korban, yang kebanyakan adalah tunawisma. "Banyak yang tidak memiliki pakaian, tempat tidur atau peralatan-peralatan lainnya. Sungguh kesengsaraan yang luar biasa".
Namun, ia terkesan dengan pendirian warga London, "Hampir binasa karena kelaparan dan kemiskinan namun belum meminta bantuan satu penny pun".
Saat api padam di hari Kamis, 13.500 rumah, 87 gereja paroki, 44 gedung perusahaan, Royal Exchange, custom house, Katedral Santo Paulus, Istana Bridewell, penjara kota, kantor pos utama, tiga gerbang barat kota -- Ludgate, Newgate, dan Aldersgate -- hangus. Kawasan seluas 373 hektar terdampak.
Kebakaran juga merenggut korban jiwa, 4 orang -- tapi itu versi resmi pemerintah kala itu. "Bau menyengat datang dari jasad-jasad makhluk miskin yang malang," tulis John Evelyn, mengindikasikan korban jiwa yang signifikan.
'Makhluk-makhluk malang' dari kalangan biasa -- para jompo, bayi dan anak kecil, yang sakit, pincang, lumpuh. Mereka diduga terpanggang api hidup-hidup. Abu jenazah dan belulang terkubur di bawah reruntuhan.
Belum lagi yang tewas di kamp pengungsian dadakan yang serba kekurangan. Ratusan, bahkan ribuan nyawa mungkin melayang akibat kebakaran besar di London. Yang terlupakan atau tak dianggap penting untuk dicatat dalam sejarah.