Kasus Florence dan Permenungan bagi Dunia Pendidikan

Ada banyak sisi yang dapat didiskusikan dalam kasus Florence.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Sep 2014, 15:00 WIB
Membaca status yang dituliskan oleh Florence, onliner geram.

Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu terakhir, masyarakat khususnya di Yogyakarta banyak yang memberikan perhatian pada kasus yang dialami Florence. Florence adalah pendatang dari luar Yogyakarta dan sedang menempuh pendidikan S2 di sebuah Universitas di Yogyakarta. Kasusnya dimulai dari tuduhan menyerobot antrian BBM di SPBU hingga ekspresi pribadi Florence di media sosial “path” yang dianggap menyakiti perasaan masyarakat Yogyakarta. 

Ada banyak sisi yang dapat didiskusikan dalam kasus Florence. Mulai dari sisi perilaku penggunaan media sosial, sisi hukum, hingga sisi sosio-kultural. Tak kalah menarik adalah membahas pernyataan beberapa orang yang muncul di media sosial sebagai tanggapan atas kasus Florence mengenai tidak adanya hubungan antara pendidikan tinggi yang dimiliki seseorang dengan kematangan pribadinya.

Perilaku menyerobot antrean (meskipun yang bersangkutan memiliki pembenaran tersendiri) dan agresi verbal yang menggeneralisir sekelompok masyarakat berdasarkan emosi marah sesaat yang diungkapkan di media sosial (meskipun mungkin awalnya hanya dimaksud untuk kalangan terbatas), dipandang beberapa orang di media sosial tidak mencerminkan pendidikan S2 yang sedang dijalaninya. Jika pernyataan ini benar, apa yang perlu dibenahi oleh dunia pendidikan di Indonesia?


Perlombaan

Perlombaan Pencapaian Prestasi Kognitif
Tujuan pendidikan di sekolah secara umum adalah pengembangan anak didik lewat optimalisasi berbagai aspek dalam dirinya. Aspek-aspek tersebut seharusnya dikembangkan secara harmonis dengan tidak melupakan keunikannya masing-masing.

Pendidikan pun sebenarnya dimulai dan mendapat fondasi dari keluarga dan kemudian diteruskan secara formal oleh sekolah. Oleh karenanya, proses optimalisasi aspek-aspek secara harmonis tersebut semestinya akan melibatkan kerjasama keluarganya dan sekolah di mana dia berada.

Saat ini ada kecenderungan umum untuk menekankan capaian prestasi kognitif akademis anak didik dalam dunia pendidikan di Indonesia baik oleh orangtua maupun oleh sekolah. Hal ini gencar dilakukan bahkan sejak anak berada di tahap pra-sekolah dan awal-awal tahun pendidikan dasarnya.

Predikat sekolah terbaik atau sekolah teladan bahkan semenjak di tingkat awal hampir selalu merujuk pada capaian prestasi kognitif akademisnya. Dan sekolah berlomba-lomba untuk meraih gelar tersebut. Untuk mewujudkannya, sekolah yang didukung orangtua bahkan tidak segan-segan menumbuhkan suasana kompetitif untuk semakin memperkuat daya tekan pada anak.

Dengan suasana kompetitif ini, orangtua dan sekolah berusaha mengikutsertakan kekuatan sosial untuk menggenjot segala daya upaya anak agar berusaha menjadi yang terbaik dan mengalahkan yang lain. Fasilitas lain untuk untuk mendorong aspek kognitif juga diberikan lewat penambahan jam belajar serta pemberian pelajaran tambahan. Bahkan pelajaran tambahan yang bersifat kognitif telah diberikan bahkan semenjak anak menjalani pendidikan pra-sekolah.


Optimalisasi sisi kognitif

Salah satu tujuan pendidikan memang adalah optimalisasi sisi kognitif. Akan tetapi, tujuan ini bukanlah satu-satunya yang harus dicapai. Perlu juga diberikan ruang untuk pencapaian tujuan-tujuan lainnya. Apalagi dalam masa awal pendidikan individu yakni pra-sekolah dan pendidikan dasar dalam tahun-tahun pertama.

Pada pendidikan di masa awal ini, aspek membangun kematangan karakter pribadi individu dan kemampuannya untuk dapat hidup bersama orang lain (aspek relasi sosial) perlu untuk mendapatkan perhatian lebih besar. Indikator keberhasilan aspek ini antara lain dapat dilihat dari kemampuan individu mengenal, mengelola, dan mengekspresikan diri dan juga kemampuannya untuk menyadari, menerima, serta menghargai keberadaan orang lain di sekitarnya.

Penekanan yang berlebihan untuk berkompetisi pada aspek kognitif pada anak di usia awal pendidikan akan mengabaikan keunikan masing-masing anak yang mungkin sebenarnya lebih memiliki bakat di area lain. Selain itu, kompetisi yang berlebihan dapat mengancam kemampuannya untuk dapat menerima dan menghargai dirinya serta menerima dan menghargai keberadaan orang lain di sekitarnya.

Anak-anak yang dididik dengan cara ini selanjutnya akan melihat bahwa tujuan hidupnya hanyalah menjadi yang pertama. Dia tidak peduli ketika harus “mengalahkan” orang lain untuk mencapai tujuannya tersebut. Yang memprihatinkan, tujuan ini sangat mungkin akan tetap menggerakkan anak-anak tersebut bahkan ketika mereka menjalani pendidikan tinggi.


Tidak mencerminkan kemampuan sesungguhnya

Meskipun telah mendapatkan prestasi yang baik atau paling tidak mencerminkan kemampuan sesungguhnya, namun mereka akan merasa gagal dan frustasi karena tidak menempati posisi terbaik dan mengalahkan teman-temannya. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa seringkali kita menemukan banyak fenomena seperti plagiasi, mencontek, dan menyerobot antrean yang terjadi di negri ini yang bahkan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan yang relatif tinggi.

Secara rasional pastilah mereka memahami bahwa yang mereka lakukan adalah hal yang keliru dan merugikan orang lain meskipun rasionalisasi sebagai kemampuan yang dimiliki banyak kaum berpendidikan sering dilakukan untuk membenarkan perilaku mereka. Akan tetapi, ada sebuah dorongan yang seringkali tidak dapat mereka tahan yang telah memaksanya untuk melakukan hal tersebut. Sebuah dorongan untuk mengalahkan yang lain yang dipelajari dan dibangun hari demi hari saat mereka dibentuk oleh lingkungan yang terlalu kompetitif pada masa pendidikan awalnya.

Saat ini kita melihat adanya banyak ironi yang terjadi. Banyak orang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi (diandaikan memiliki kemampuan kognitif yang baik pula) namun justru berkarakter kurang matang. Orang-orang ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah sosial karena kegagalannya menyesuaikan diri dengan situasi sosial di sekitarnya. Mereka tidak mampu mengendalikan diri dan menghargai keberadaan orang lain. Meskipun memiliki kecerdasan kognitif, mereka berpotensi mengalami banyak masalah bahkan kegagalan dalan hidupnya. Jadi, masihkah kita akan mengabaikan aspek pengembangan karakter khususnya di masa awal pendidikan anak-anak kita?

Y. Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya