Kisah Anung, Guru yang Mengabdi di Ujung Negeri

Adapun rintangan-rintangan yang berbeda seperti melawan derasnya arus sungai (masyarakat Malinau menyebutnya Geram),

oleh Liputan6 diperbarui 14 Sep 2014, 10:05 WIB
Adapun rintangan-rintangan yang berbeda seperti melawan derasnya arus sungai (masyarakat Malinau menyebutnya Geram),

Liputan6.com, Jakarta Perrkenalkan nama saya Anung Winahyu, teman-teman biasa memanggil Anung. Saya adalah salah satu peserta SM-3T ( Sarjana Mendidik Daerah Terluar Terdepan Tertinggal) angkatan III dari LPTK Universitas Negeri Yogyakarta. Sebelumnya saya kuliah di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, mengambil jurusan PPKn (SI) tahun 2008 dan lulus pertengahan tahun 2011 dengan IPK baik.

Tempat tinggal saya jauh dari perkotaan yakni di Dusun Seyegan Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Provinsi Yogyakarta. Saya dapat informasi dari teman yang sebelumnya ikut SM-3T angkatan I. Kemudian, mendengar cerita dari teman saat menjadi guru di daerah tertinggal (3T), saya memutuskan untuk ikut progam SM-3T.

 

Foto dok. Liputan6.com

Dalam benak hati, saya  merasa tertarik dengan tantangan hidup yang berbeda. Selain itu, program ini akan memberikan saya kesempatan melihat luasnya Indonesia. Setelah mengikuti tes akademik dan wawancara serta pelatihan di AAU, alhamdulilah saya lolos dan ditempatkan di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Cerita saya selama satu tahun menjadi peserta SM-3T dimulai ketika kami SM-3T III UNY selesai mengikuti kegiatan prakondisi selama 10 hari di AAU Yogyakarta. SM-3T UNY yang ditempatkan di Kabupaten Malinau berjumlah 45 peserta. Pemberangkatan dibagi menjadi dua kloter, dan saya masuk kloter kedua berangkat hari Selasa, 17 September 2013. Pemberangkatan dari Bandara Internasional Adi Sucipto Yogyakarta. Saat memasuki wilayah Kabupaten Malinau, kami melihat banyak terdapat rawa-rawa, perbukitan, hutan belantara, dan sungai yang besar. Inilah yang akan menjadi tempat tugas kami selama satu tahun ke depan.

Rabu, 18 September 2013 semua peserta SM-3T III sampai di Kabupaten Malinau dan berkumpul di kantor Bupati untuk mengikuti acara penerimaan SM-3T angkatan III sekaligus pelepasan SM-3T angkatan II. Tidak hanya dari LPTK UNY, untuk angkatan III ada Universitas Negeri Malang (UM) juga mengirimkan SM-3T ke Kabupaten Malinau. Saya ditugaskan di sekolah baru yaitu SMA Negeri 12 Malinau bersama Heri Dian O. (P. Geografi) dan Firdaus Laili (P. Bahasa Inggris).

Kepala Bidang Pendidikan Kabupaten Malinau, FX Brata mengatakan SMA Negeri 12 Malinau letaknya di “ujung dunia”, mengingat sekolah tersebut aksesnya paling sulit di banding sekolah lain di Kabupaten Malinau. SMA Negeri 12 Malinau berlokasi di Desa Long Pada, Kecamatan Sungai Tubu. Selain itu, di Kecamatan Sungai Tubu juga terdapat SMPN 2 Mentarang. Ada dua peserta SM-3T juga bertugas di SMP Negeri 2 Mentarang yaitu Dwi Kristiyanto (P. Olahraga) dari LPTK UNY dan Yoga Agung Kusuma (P. Fisika) dari LPTK UM, sehingga ada lima SM-3T yang ditugaskan di Desa Long Pada, Kecamatan Sungai Tubu.
 


Perjalanan Menuju Tempat Pengabdian


Perjalanan ke SMA Negeri 12 Malinau yang letaknya di Desa Long Pada Kecamatan Sungai Tubu tidak semudah menuju SMA lain yang berada di Kabupaten Malinau. Waktu yang kami tempuh untuk bisa sampai di daerah pengabdian (SMA Negeri 12 Malinau dan SMP Negeri 2 Mentarang) kurang lebih 30 jam atau dua hari satu malam. Untuk menjangkau Desa Long Pada, jalur yang dilalui hanya bisa lewat sungai yaitu Sungai Mentarang, Muara Sungai Malinau, dan Sungai Tubu.

Alat transportasi yang digunakan adalah perahu kecil bermesin dan biasa masyarakat Malinau menyebutnya Ketinting. Perahu kecil bermesin (Ketinting) tersebut hanya dapat mengangkut 3 sampai 4 orang, itupun tanpa muatan barang. Biaya perjalanan untuk sampai Desa Long Pada Kecamatan Sungai Tubu sekitar Rp.600.000,00 per orang apabila turun ke kota dikenakan Rp.500.000,00.

Foto dok. Liputan6.com

Adapun biaya charter Long Boat 5 juta untuk satu Long Boat PP. Mahalnya biaya tersebut, karena membutuhkan bensin banyak. Jika naik, perahu Ketinting menghabiskan bensin lebih dari 40 liter tergantung pasang surut sungai. Saya dan rombongan SM-3T lainnya disuguhi pemandangan yang berbeda dalam perjalanan.

Perjalanan yang sama sekali saya dapatkan mungkin di Pulau Jawa. Melihat hutan yang luas dan masih alami serta batu-batuan besar mengiringi perjalanan. Adapun rintangan-rintangan yang berbeda seperti melawan derasnya arus sungai (masyarakat Malinau menyebutnya Geram), berjalan kaki di tepi batuan sungai sambil menaik turunkan barang, menarik perahu dan menginap di tengah hutan. Oleh karena itu, untuk sampai di SMA Negeri 12 Malinau memerlukan waktu dua hari perjalanan. Posisi wilayah Kecamatan Sungai Tubu yang serba sulit menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat setempat.
 
 


Serunya Melintasi Derasnya Arus Sungai



Kecamatan Sungai Tubu dibagi lima desa yakni Desa Ranau, Desa Nyau, Desa Rian Tubu, Desa Long Titi, dan Desa Long Pada. Desa Long Pada merupakan desa kota kecamatan Sungai Tubu. Antara desa satu dengan desa lain akses jalan sulit, hanya mengandalkan jalur sungai yang airnya kecil. Masyarakat berjalan kaki satu hingga tiga hari untuk sampai ke desa lain. Jumlah penduduk di Desa Long Pada sedikit, sekitar 30 KK.

Mayoritas masyarakat adalah Dayak Punan Tubu dan beragama Kristen Prostetan. Mata pencaharian yakni sebagai Motoris atau Juru Batu Ketinting, Berburu dan Berladang. Makanan sehari-sehari mereka adalah daun singkong, babi, payau, kera dan ikan. Kehidupan masyarakat di sana sudah dimanjakan oleh alam. Berburu menjadi aktivitas urgent untuk memenuhi kehidupan makan mereka.

Mayoritas warga Desa Long Pada memelihara anjing. Berbeda jauh dengan kehidupan masyarakat yang ada di kota. Di Desa Long Pada tidak ada listrik dan tidak ada kendaraan seperti mobil, motor, bahkan sepeda sekalipun. Peredaran uang minim sekali, sehingga aktivitas jual beli di Desa Long Pada tidak berjalan.
 

Foto dok. Liputan6.com


Sungai Tubu merupakan salah satu kecamatan baru di Kabupaten Malinau yang aksesnya paling sulit dijangkau. Jalan darat pun sampai sekarang belum ada, untuk menuju ke daerah tersebut. Sungai Tubu juga termasuk dalam Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Oleh karena itu, Hutan yang lebat dan alami masih terlihat nyata seperti hutan Amazon-nya Indonesia. Saya dan rombongan SM-3T lainnya harus memutar otak, berfikir mengenai cara hidup selama masa tugas satu tahun di Long Pada. Mulai dari masak, mandi, buang air besar, makan dan lain-lain. Kami tinggal di mes kecamatan yang di bawah mes tersebut dahulu bekas kuburan cina, sehingga suasana masih kosong.

Cara hidup kami di Desa Long Pada mengikuti kondisi yang ada di tempat, dimana serba kurang. Sistem dengan stok logistik seperti beras, minyak goreng, minyak tanah, mie instan, bumbu-bumbu, ikan kering, sarden dan makanan serta peralatan lainnya yang dibutuhkan, karena di daerah tersebut tidak ada penjual. Kami mandi dan buang air besar di sungai, masak menggunakan tungku dan kompor minyak tanah, kalau malam penerangan pakai api minyak tanah.

Air bersih kami dapat dari penampungan profil air di samping kecamatan. Setiap hari memasak daun singkong dan kangkung yang di sop atau tumis, gorengan tepung, gorengan teri dan masak mie instan, krupuk. Siswa maupun warga terkadang mengantar ikan, hasil dari mereka menjala maupun pasang pukat. Kami juga menanam sayuran seperti daun singkong, kangkung, kacang panjang, sawi, dan terong serta cabai. Sayuran tersebut tumbuh sehingga bisa kami gunakan untuk hidup, dan warga juga ikut memanennya.

Pengaturan mengenai masak selama kami disana sudah terjadwal. Guru sma pagi masak, karena guru smp ke sekolah, begitu sebaliknya guru smp sore masak karena guru sma ke sekolah. SMA Negeri 12 Malinau masih menggunakan gedung SMP Negeri 2 Mentarang, sehingga jadwal sekolahnya harus bergantian. Pagi digunakan smp dan siang usai smp pulang, kelas di pakai oleh sma. Tempat tinggal dengan sekolahan jaraknya dekat, sekitar 300 meter dengan jalan yang sedikit menanjak. Oleh karena itu, setiap berangkat mengajar cukup dengan jalan kaki.


Sungai Tubu Tempatku Mengabdi

SMA Negeri 12 Malinau merupakan salah satu sekolahan di Kabupaten Malinau yang mendapat jatah guru SM-3T angkatan III. Tahun ajaran 2013/2014, SMA Negeri 12 Malinau baru dibuka. Kepala SMA Negeri 12 Malinau adalah Bapak Elison, M.Pd. Beliau dipindah tugaskan dari Kepala SMP Negeri 2 Mentarang ke SMA Negeri 12 Malinau. Pertama kalinya SMA Negeri 12 Malinau dibuka, mempunyai jumlah siswa kelas X yakni 11 siswa, dan tahun ajaran 2014/2015 kelas X berjumlah 10 siswa. Pada tahun ajaran 2014/2015 sudah ada dua kelas yakni kelas X berjumlah 9 siswa, kelas XI jumlahnya 11 siswa ditambah satu siswa pindahan dari SMA lain, sehingga menjadi 12 siswa.
 
Kegiatan belajar mengajar untuk SMA Negeri 12 Malinau serba kurang. Mulai dari Gedung sekolah, tenaga pengajar, ataupun sarana penunjang siswa lainnya seperti seragam, tas sepatu, buku. Siswa SMA Negeri 12 Malinau belajar menggunakan gedung SMP Negeri 2 Mentarang. Mereka bersekolah siang pukul 12.45 - 17.00 WITA. Tenaga gurunya hanya dari SM-3T saja, yakni saya Anung Winahyu, Firdaus Laili dan Heri Dian Oktavianto.

Foto dok. Liputan6.com

Kami bertiga dituntut mengampu lebih dari satu mata pelajaran. Dibantu guru SM-3T SMP Negeri 2 Mentarang juga serta guru kontrak daerah. Oleh karena itu, sekolahan di Kecamatan Sungai Tubu ke depannya sangat membutuhkan tenaga guru. Keinginan anak-anak Sungai Tubu untuk bersekolah sangat tinggi. Mereka punya cita-cita sama seperti anak lainnya yang ada di kota. Kami berpendapat bahwa kendala utama adalah akses ke daerah itu, sehingga suplay tenaga guru PNS mau kontrak daerah minim kemauan untuk penempatan daerah tersebut. Awal tahun ajaran 2013/2014 kami guru SMA juga membantu mengajar di SMP Negeri 2 Mentarang selama satu semester, guna melengkapi kekurangan guru.

Banyak hal baru yang kami dapatkan selama masa tugas di Long Pada. Aktivitas selama satu tahun kita habiskan untuk berbaur bersama masyarakat Long Pada usai sekolah. Mulai dari belajar berbicara dengan bahasa Dayak Punan Tubu, ikut dalam musyawarah tingkat kecamatan maupun desa, bermain sepak bola, mencari ikan, mencari kayu bakar, berladang kerja bakti dan lain-lain. Kegiatan tersebut kami lakukan bersama siswa-siswa dan masyarakat.

Pada penghujung penugasan di Desa Long Pada, kami guru SM-3T ankatan III mendapatkan kenang-kenangan dari para siswa. Salah satu kenang-kenangan yang diberikan untuk kami adalah anjat. Anjat adalah sejenis tas yang terbuat dari rotan dan merupakan kerajinan tangan khas daerah Kabupaten Malinau, khususnya Kecamatan Sungai Tubu.

Pengirim:

Anung Winahyu

Disclaimer:

Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.

Anda juga bisa mengirimkan artikel, foto atau video seputar kegiatan komunitas, kesehatan, keuangan, wisata, kuliner, gaya hidup, sosial media, dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya