Liputan6.com, Jakarta - Ketua KPK Abraham Samad buka suara terhadap terpilihnya Bendahara Umum Partai Golkar Setya Novanto jadi Ketua DPR periode 2014-2019. Abraham mengisyaratkan kalau Setya bukan orang bersih sehingga tak pantas jadi Ketua DPR.
"Sebenarnya KPK menginginkan Ketua DPR yang terpilih itu orang yang bersih dan tidak punya keterkaitan dengan kasus-kasus hukum," kata Abraham lewat pesan singkatnya, Kamis (2/10/2014).
Tak cuma itu, Abraham menyatakan, KPK kecewa atas terpilihnya Setya menjadi orang nomor satu kantor Wakil Rakyat. "Jadi KPK juga kecewa dengan terpilihnya Ketua DPR baru," ujar Abraham.
Akan tetapi, Abraham menghargai proses pemilihan dalam sidang paripurna yang dilakukan para anggota legislatif yang baru. Di mana dalam sidang yang berlangsung sampai dini hari itu para Wakil Rakyat resmi memilih Setya Novanto sebagai pemimpin mereka.
"Namun demikian kita tetap menghargai proses yang sudah terjadi di DPR," ucap Abraham.
Dalam sidang paripurna, Setya Novanto terpilih sebagai Ketua DPR setelah paket pimpinan DPR diajukan oleh 6 fraksi. Yakni Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP.
Selain Demokrat, 4 partai lain pengusung Setya datang dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa saat Pemilu Presiden 2014 lalu.
Tak hanya Setya, dalam paket pimpinan DPR yang diajukan juga terpilih Fadli Zon (Fraksi Gerindra), Agus Hermanto (Fraksi Partai Demokrat), Fahri Hamzah (Fraksi PKS), dan Taufiq Kurniawan (Fraksi PAN). Keempatnya mendampingi Setya sebagai Wakil Ketua DPR.
Akrab Kasus Hukum
Setya Novanto kerap berurusan dengan hukum. Ia telah beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau oleh KPK. Kasus ini menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga kader Partai Golkar.
Sebelumnya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin juga menyebut Setya bersama mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee (komisi) proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR.
Pada suatu kesempatan Setya membantah Nazaruddin. Dia mengaku tidak pernah tahu dan tidak pernah ikut campur dalam proyek e-KTP. "Dia (Nazaruddin) bohong," ujar Setya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis 24 April 2014.
Jauh sebelum itu, tepatnya pada 1999, nama Setya disebut dalam kasus korupsi pengalihan tagihan (cessie) Bank Bali. Di mana Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian cessie ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Setya adalah Direktur Utama PT Era Giat Prima ketika itu.
Pengadilan pun menganggap ada tindak pidana korupsi dalam cessie Bank Bali. Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syahrir Sabirin dan petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Lubis menerima hukuman penjara karena dinilai Majelis Hakim terbukti bersalah atas kasus itu. Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mencairkan klaim tagihan Bank Bali kepada BDNI.
Meski akrab dengan kasus-kasus hukum, namun Setya Novanto tetap tak tersentuh.
Advertisement
Setya sendiri tak mempersoalkan pihak-pihak yang merasa keberatan dengan dirinya. Bendahara Umum Partai Golkar itu menerima semua kritikan yang ditujukan untuknya.
"Ya, nggak masalah kan kalau dikritik-kritik begitu. Kita harus menerima segala kritikan baik dan buruk," kata Setya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (3/10/2014).
Ia mengatakan, semua kritikan yang ia terima akan menjadi bahan pembelajaran untuk selalu mengevaluasi kinerjanya, baik secara pribadi maupun lembaga.
"Tentu semua kritikan ini akan menjadi suatu evaluasi untuk menjadikan suatu yang baik. Kalau memang ada suatu kelemahan-kelemahan terhadap pimpinan ya kita perbaiki untuk kinerja kita," ujar Setya. (Ans)
Baca Juga