Beda Atlet Dulu dan Sekarang Kalau Kalah Bertanding

Masalah sekecil apapun diceritakan oleh para atlet Indonesia ketika berada di luar negeri.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 03 Okt 2014, 15:30 WIB
Masalah sekecil apapun diceritakan oleh para atlet Indonesia ketika berada di luar negeri.

Liputan6.com, Jakarta Mendampingi atlet selama lebih dari 25 tahun di kejuaraan dunia badminton, membuat pemijat atlet, Sugiat merasa betul-betul dekat dengan mereka. Tak jarang, masalah sekecil apapun juga diceritakan oleh para atlet Indonesia ketika berada di luar negeri.

Yang menarik, Sugiat membocorkan ada perbedaan yang begitu signifikan dari sikap atlet dulu dan sekarang ketika kalah bertanding yang membuatnya sedikit kecewa.

"Atlet dulu itu, kalau kalah dia begitu sedih, terpuruk, kecewa, menyesal. Bahkan teman satu timnya itu bisa segan untuk menyapanya. Sebab menjadi atlet itu merupakan kebanggan dan orang pilihan. Bahkan untuk mendapatkan kaos bertuliskan Indonesia saja bisa membuat mereka menangis terharu. Karena tidak sembarangan orang bisa pakai. Tapi sekarang kaos kayak begitu banyak dipake tukang somay, bubur dan ojek. Jadi nggak ada bangganya," kata Sugiat saat ditemui di tempat terapinya, Sport Massage-Giat Kurnia di kawasan Sunter, Jakarta, Jumat (3/10/2014).

Sugiat melanjutkan, juara dunia pebulu tangkis tahun 70-80an seperti Christian Hadinata dan Imelda Wiguna misalnya mereka boleh bangga ketika mendapat hadiah dari juara dunia ganda campuran badminton, hanya mesin jahit. Tidak sebanding dengan perjuangan mereka memang, tapi bukan itu yang mereka masalahkan melainkan kecintaan terhadap Tanah Air yang membuat mesin jahit begitu berharga dimata mereka.

"Mereka itu pasangan ganda campuran yang lucu. Ketika itu mereka menjuarai bulu tangkis dan hadiahnya mesin jahit. Saking bangganya, sehabis mandi mereka buru-buru mencoba mesin jahit. Bagi mereka bisa membawa nama Indonesia di mata dunia itu begitu membanggakan dan patut diperjuangkan sehingga semua tim itu sehati dan profesional. Mereka menjaga hidupnya dengan baik, istirahat yang cukup sehingga performanya bagus," ungkapnya.

Sayangnya, kedekatan dan kelucuan ini menurut Sugiat tidak ia dapatkan dari generasi muda Indonesia. Pertama, atlet terlalu diimingi hadiah terlalu besar sebelum bertanding. Kedua, para atlet seringkali pada akhirnya terbebani ketika bertanding sehingga sering kalah justru pada saat final.

"Atlet sekarang belum apa-apa sudah diimingi hadiah besar, gadjet dan fasilitas mewah sebelum bertanding. Boleh saja atlet dapat itu, tapi harus diimbangi motivasi yang benar. Dan kalau mereka kalah, mereka tidak begitu menyesal. Seringkali malah dengan santainya mentraktir teman satu tim karena kalah taruhan. Saya pernah mendampingi atlet ketika kejuaraan melawan Polandia. Dia kalah dan dengan wajah tidak beban dia bilang kalah ke teman dan keluarganya setelah itu tertawa dan berkumpul lagi dengan temannya," ujarnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya