Liputan6.com, Jakarta - Banyak pihak yang menyayangkan terpilihnya politisi Partai Golkar Setya Novanto menjadi Ketua DPR periode 2014-2019. Sebab, Setya kerap dikaitkan dengan kasus hukum.
Setya tak mempersoalkan pihak-pihak yang merasa keberatan tersebut. Bendahara Umum Partai Golkar itu menerima semua kritikan yang ditujukan untuknya.
"Ya nggak masalah kan kalau dikritik-kritik begitu. Kita harus menerima segala kritikan baik dan buruk," kata Setya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (3/10/2014).
Setya mengatakan, semua kritikan yang ia terima akan menjadi bahan pembelajaran untuk selalu mengevaluasi kinerjanya, baik secara pribadi maupun lembaga.
"Tentu semua kritikan ini akan menjadi suatu evaluasi untuk menjadikan suatu yang baik. Kalau memang ada suatu kelemahan-kelemahan terhadap pimpinan ya kita perbaiki untuk kinerja kita," ujar Setya.
Setya mengatakan, sebagai manusia, pasti semua memiliki kekurangannya masing-masing. Karena itulah, dia tidak mempersoalkannya. "Sebagai manusia biasa tentunya ada kekurangan-kekurangannya. Jadi nggak masalah (dikritik)," tandas Ketua DPR itu.
Advertisement
Akrab Kasus Hukum
Setya Novanto kerap berurusan dengan hukum. Ia telah beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau oleh KPK. Kasus ini menjerat mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga kader Partai Golkar.
Sebelumnya, Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin juga menyebut Setya bersama mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR.
Pada suatu kesempatan Setya membantah Nazaruddin. Dia mengaku tidak pernah tahu dan tidak pernah ikut campur dalam proyek e-KTP. "Dia (Nazaruddin) bohong," ujar Setya di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis 24 April 2014.
Jauh sebelum itu, tepatnya pada tahun 1999, nama Setya disebut dalam kasus korupsi pengalihan tagihan (cessie) Bank Bali. Bank Bali dan PT Era Giat Prima (EGP) meneken perjanjian cessie ke BDNI dan BUN. Jumlah seluruh tagihan piutang Bank Bali Rp 798,09 miliar. Setya adalah Direktur Utama PT Era Giat Prima ketika itu.
Pengadilan pun menganggap ada tindak pidana korupsi dalam cessie Bank Bali. Gubernur Bank Indonesia saat itu, Syahrir Sabirin dan petinggi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Pande Lubis menerima hukuman penjara karena dinilai Majelis Hakim terbukti bersalah atas kasus itu. Mereka dianggap menyalahgunakan wewenang dengan mencairkan klaim tagihan Bank Bali kepada BDNI. (Ndy)
Baca Juga